psikologi sains

wacana saling bertukar pikiran dan berbagi ilmu

Friday, January 28, 2011

penelitian psikologi komunitas

PENGANTAR
Komunitas-komunitas merupakan setting penelitian yang sangat berguna
Penelitian komunitas dapat diartikan sharing dengan warga beberapa aspek yang harus dikontrolnya dalam penelitian laboratorium
Komunitas adalah laboratorium yang sangat luas.
Dari komunitas, problematik penelitian yang harus dijawab, data lapangan dan sumber inspirasi bisa muncul untuk dijasikan sebagai pusat kajian ilmiah
LIMA (5) PERTANYAAN KUNCI PENELITIAN KOMUNITAS
1. Fenomena (Isu, Topik, Proses) apa kita akan studi?
2. Dari Perspektif teori dan nilai (value) apa kita akan melakukan studi?
3. Pada level analisis apa kita akan melakukan penelitian?
4. Dalam konteks kultural apa kita akan melakukan riset dan bagaimana kita akan memahami konteks?
5. Dalam hubungan dengan komunitas apa kita akan melakukan riset?
Perspektif Riset Komunitas
Epistemologi berhubungan dengan bagaiman pengetahuan didapatkan
Ada dua perspektif,
1. Positivistic: teknoligis: melakukan riset yang berhubungan dengan problem sosial. Peneliti mencoba untuk bebas nilai dan netral
2. Contextualist: Dialektis: Peneliti mencoba mempertentangkan dua posisi (definisi atau teori) yang digunakan. Caranya dengan cara memisahkan presim-premis secara tegas dan eksplisit, memperhatikan “suara yang tidak pernah didengar”, Memperkuat cara pandang
LEVEL ANALISIS EKOLOGIS RISET KOMUNITAS
Berhubungan dengan pertanyaan 3 yaitu pada level ekologis apa analisis akan diterapkan pada riset komunitas
Psikologi umumnya melihat level indicidu dalam analisisnya. Ketika level analisis ditingkatkan pada komunitas, maka pemahaman akan fenomena komunitas harus juga dipahami.
Kita harus memahami, apakah fenomena itu karan peran individu atau komunitas. Sehingga memilih analisis yang ekologis itu dapat tepat dilakukan
MEMAHAMI KONTEKS BUDAYA RISET
Berhubungan dengan pertanyaan 4 yaitu dalam konteks budaya apakah riset akan dilakukan dan bagaimana kita memami konteks tersebut?
Ada beberapa tantang melakukan studi untuk konteks budaya:
Asumsi bahwa populasi homogen: pemahaman akan keberagaman dalam setiap budaya harus melandasi pemikiran peneliti. Orang cenderung melihat beragam pada ingroupnya dan homogen pada out groupnya.
Asumsi bahwa metodologinya ekuivalen (seimbang). Apakah topik riset yang diteliti juga bisa diteliti dengan metode yang sama pada budaya lain
Rancangannya between-Group atau Within-Group. Berhubungan dengan konsep etic dan emik
Petunjuk untuk memahami konteks budaya dalam riset komunitas
Buatlah partnership yang kolaboratif antara antara peneliti dengan anggota suatu komunitas budaya tertentu
Definisikan budaya kelompok dalam istilah yang biasa mereka gunakan (dalam interpretasinya)
Mencari pemahaman adanya keragaman dalam kelompok atau komunitas budaya dan cari faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut
Gunakan metode penelitian kualitatif sebagai pendekatan yang utama
Apabila pengetahuan tentang berbagai faktor budaya masih minim, hindarkan usaha melakukan perbandingan budaya.
Selalulah berharap bisa memodifikasi setiap hal dalam komunitas budaya tersebut dengan menggunakan asumsi teori, teknik pengukuran, metode interview, analisis data , teknik statistik, dan metode pelaporan yang berbeda.
RISET KOMUNITAS SEBAGAI COLLABORATIVE PARTNETSHIP
Topik ini berhubungan dengan pertanyaan 5 yaitu dalam hubungan apa dengan komunitas kita melakukan riset.
Metaporanya adalah hubungan antara tamu dengan tuan rumahnya.
Riset dan tindakan sifatnya inseparable dan simultan. Karena itu hal ini menjadi tantangan
LIMA PRINSIP PARTNERSHIP RISET KOMUNITAS
Riset komunitas adalah pertukaran sumber daya
Riset komunitas adalah alat (tool) untuk tindakan sosial
Evaluasi tindakan sosial adalah dilandasi ethical imperative
Riset Komunitas menghasilkan produk yang berguna untuk masyarakat

psikologi komunitas

DEFINISI PSIKOLOGI KOMUNITAS
Berasal dari dua kata :
Komunitas: orang-orang yang berada pada suatu wilayah geografis tertentu, dan berkonotasi kelompok, bertetangga, dan memiliki struktur yang luas
Psikologi: adalah ilmu yang memiliki perhatian pada unsur individual, seperti: kognisi, motivasi, perilaku, perkembangan, dan proses-proses yang saling berhubungan diantara konsep-konsep tersebut
Apakah antara konsep “psikologi” dan “komunitas” merupakan istilah yang saling berlawanan?
PERGANTIAN PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI KOMUNITAS
Yang dimaksud PERGANTIAN/SHIFT adalah fokus dari psikologi komunitas bukannya pada individu itu sendiri melainkan hubungan antara individu dengan struktur sosialnya
Dalam buku ini dicontohkan dalam empat pergantian perspektif, yaitu tentang homelessnes (tuna wisma), situasi kehidupan yang digambarkan sebagai system-dependent dan nilai kemandirian (self-reliance) dan bagaimana para profesional dunia memiliki perhatian yang lebih pada gejala individual, dan bukannya hubungan antara kehidupan individu dengan komunitasnya
Self-Reliance
Self-reliance (kemandirian) adalah nilai inti pada sebagian besar masyarakat di Amerika dan masyarakat dengan budaya kapitalisme dan individualisme
Orang yang Self-reliance memiliki ciri-ciri : memperhatikan (take-care) diri sendiri, pengambilan keputusannya independen, dan menghindari ketergantungan pada pihak lain.
Kenyataan masyarakat di dunia, semua orang itu tergantung pada orang lain.
Masalahnya : bila individu ini mengalami masalah seperti sakit, atau problem-problem pribadi.
Psikologi komunitas memiliki perhatian pada bagaimana mengembangkan COPING terhadap masalah pribadi ini sehingga mereka bisa adaptasi
Tahapan aplikasi dalam memecahkan problem sosial
Pergantian perspektif juga harus terjadi pada psikologist bidang komunitas memandang proses perubahan dalam komunitas
First-order-change: adalah mencoba mengatasi masalah tidak pada pokok persoalan. Contoh: Anak yang bermasalah dikeluarkan dari sekolah.Masalah perumahan diselesaikan dengan semangat cari kerja
Second-order-change: akan mengubah hubungan antara individu dalam setting kehidupannya. Asumsinya setting akan memiliki fungsi dalam menyelesaikan masalah individu
Pergantian perspektif juga harus terjadi pada psikologist bidang komunitas memandang proses perubahan dalam komunitas
1. First-order-change: adalah mencoba mengatasi masalah tidak pada pokok persoalan. Contoh: Anak yang bermasalah dikeluarkan dari sekolah.Masalah perumahan diselesaikan dengan semangat cari kerja
Second-order-change: akan mengubah hubungan antara individu dalam setting kehidupannya. Asumsinya setting akan memiliki fungsi dalam menyelesaikan masalah individu
2. COLLABORATION AND COMMUNITY STRENGTHS: Psikologist bekerja dalam masyarakat sebagai ahli, peneliti, klinisi, konsultant, dan peran lain yang sama.
RESPECT FOR HUMAN DIVERSITY: Memahami individu dalam keragaman sangat dibutuhkan agar tidak memaksakan nilai dan merusak nilai dalam masyarakat
3. EMPIRICAL GROUNDING: seorang psikologist komunitas melakukan tugasnya sebagai participant-conceptualizer
SEJARAH PSIKOLOGI KOMUNITAS
Psikologi Komunitas memiliki akar yang kuar dari budaya AS.
Budaya ini sangat individualisme, dimana unsur individu (kadang keluarga) memiliki peran yang sangat dominan dalam komunitas yang lebih luas.
Individualisme memiliki dua bentuk :
1. Utilitarian
Ekspresif
Kelemahan individu : blaming the victim yang melihat aspek individu sebagai penyebab dari problem personal. Misalnya: kemiskinan karena malas
2. INDIVIDUALISME MODERAT
Individualisme menjadi moderat ketika munculnya tradisi budaya lain.
Tiga tradisi yang mempengaruhi pemikiran
1. Citizen partisipation
2. Religion and spirituality
3. Liberation (kebebasan)
Salah satu alternatif pandangan untuk memahami individualisme adalah pembedaan Ryan (1994) tantang orientasi nilai fair play dan fair share
PENGARUH INDIVIDUALISME TERHADAP PSIKOLOGI
Individualisme memiliki pengaruh terhadap perspektif psikologi terutama dalam hal penyempitan fokus kajian yang lebih individualis daripada individu dalam konteks
Contoh:
Kenakalan remaja lebih dilihat sebagai akibat remaja yang memiliki karakter kepribadian yang salah, bukannya melihat karakter kepribadian dalam setting sosial
PENGARUH PERUBAHAN SOSIAL-POLITIK
HIPOTESIS LEVINE AND LEVINE tentang perubahan sosial-politik masyarakat AS akan mempengaruhi keyakinan tentang problem-problem sosial dan tindakan untuk mengatasi problem tersebut.
Ada dua era waktu dalam sejarah Amerika:
PROGRESSIVE TIME. Pada era ini penjelasan lingkungan terhadap masalah sosial lebih tepat untuk mengatasi masalah sosial
CONSERVATIVE TIME. Pada era ini penjelasan individualistik lebih tepat untuk menyelesaikan masalah sosial
Periode 1890-1914
Adalah Progressive Time
Problem sosial hampir mirip dengan situasi saat kini
Problem yang terjadi saat itu antara lain: masalah perumahan, problek psikologi klinis, kontrol kelahiran dan gerakan kesehatan ibu, dan masalah hak asasi.
Periode 1919-1932
Adalah conservative time.
Masalah sosial dialamatkan dan disebabkan oleh individu.
Penyebabnya : gerakan eugenics dan tes inteligensi
Periode Pasca Perang Dunia II
Munculnya kesadaran pentingnya psikologi komunitas
Ada 4 tekanan yang membutuhkan perhatian
Preventive perspective gangguan psikologi dan problem kehidupan
Reformasi dalam pemeliharan kesehatan mental sebagai akibat perang
Munculnya action research dan dinamika kelompok
Dampak munculnya gerakan-gerakan dalam perubahan sosial seperti: tuntutan hak-hak sipil, feminisme, lingkungan, dan gerakan hak guy dan lesbian
Swamscott Conference tahun 1965
Psikologi Komunitas menjadi studi
Konsep psikologist komunitas sebagai participant-conceptualizer
Periode 1960-an dan 1970-an
Psikologi komunitas membedakan diri dengan kesehatan mental komunitas dalam bidang kajiannya
Keterbatasan dana pemerintah dalam menangani masalah sosial mulai tampak dan mengakibatkan perubahan kebijakan dalam menangani masalah sosial
Psikologi komunitas lahit di Amerika Latin dengan perhatian lebih pada masalah keadilan sosial
Bidang kajian lebih jelas lagi ketika ada Austin Conference tahun 1975
Ada 4 Trend dalam Psikologi Komunitas
Prevensi dan promosi kompetensi
Community-building, Citizen partisipation dan empowerment
Human Diversity
Adventuresome research
Perkembangan PK Dewasa Ini
Pada beberapa negara, termasuk AS, psikologi komunitas bekerja dalam conservative social context.
Perubahan dari periode progresif ke periode konservatif ini sejalan dengan analisis Levine and Levine.
Dalam pertumbuhannya, saat ini masalah komunitas lokal menjadi perhatian dalam psikologi komunitas

Tuesday, January 25, 2011

kepribadian kode warna

Kepribadian Kode Warna
The Color Code (Taylor Hartman, 2004)

-Kepribadian adalah profil umum tentang diri seseorang------
Bagaimana seseorang berpikir, merasa, dan bertindak dalam kekhasan.
-Juga, kepribadian sering disebut karakter.
-Kepribadian adalah inti padat dari sifat-2 yang mencerminkan
esensi unik seorang manusia.

Kepribadian adalah bawaan (bukan hasil belajar)

Tipe Kepribadian Kode Warna
1. Merah
2. Biru
3. Putih
4. Kuning

-Merah, melambangkan api == semangat menyala
-Biru, melambangkan tanah= pijakan yang kuat
-Putih, melambangkan air= mengalir
-Kuning, melambangkan angin= bertiup ke mana-mana










MERAH BIRU PUTIH KUNING
Kekuasaan Keintiman Kedamaian Kesenangan
Tampak hebat
(secara teknis) Menjadi baik
(secara moral) Merasa nyaman
(di dalam hati) Tampak hebat
(secara sosial)
Menjadi pihak yang benar Dimengerti Diberi ruang
Sendiri Diperhatikan
Dihormati Dihargai Dihormati Dipuji
Disetujui se-jumlah orang terpilih Penerimaan Toleransi Persetujuan orang banyak
Menyembunyikan rasa tidak aman (kuat-kuat) Mengungkap-kan rasa tidak aman Menyimpan rasa tidak aman Menyembunyi-kan rasa tidak aman (longgar)
Produktivitas Kualitas Kebaikan Kebahagiaan
Kepemimpinan Otonomi Kemandirian Kebebasan
Petualangan yang menantang Keamanan Rasa puas Petualangan yang menyenangkan
Motif ==

Kebutuhan
======









Keinginan
======























TIPE KEPRIBADIAN DAN KARIR
Merah: Si Pengguna Kekuasaan
Karir yang mungkin menarik Merah
-Administrator -Pengacara -Kontraktor bangunan
-Perwira polisi -Dokter -Tenaga penjualan
-Perwira militer -Akuntan pajak -Pemasaran
-Politisi -Pebisnis real Estate -Pemuka agama
-Pengusaha -Kritisi profesional -Penilik sekolah
Catatan: Merah mempunyai dorongan semangat paling alamiah untuk mendaki tangga kesuksesan

Biru: Si Pelaku Kebajikan
Karir yang mungkin menarik Biru
Guru Bangkir Perawat
Ibu rumah tangga Pemuka agama Insinyur
Psikoterapis Akuntan Pustakawan
Programer komputer Politisi Jurnalis
Musisi Arsitek Perajin kayu
Catatan: Biru adalah kepribadian yang paling mampu beradaptasi dalam dunia karir.

Putih : Si Penjaga Kedamaian
Karir yang mungkin menarik Putih:
Penjaga hutan Pemimpin rekreasi Dokter hewan
Dokter gigi Peneliti Pengacara
Birokrat Ibu rumah tangga Insinyur
Programer komputer Perwira polisi Agen dinas inteligen
Karir militer Guru taman kanak-kanak Pengemudi truck
Putih dan kuning biasanya paling kurang termotivasi untuk berhasil dalam dunia karir.

Kuning: Si Pecinta Kesenangan
Karir yang mungkin menarik Kuning:
Pemadam kebakaran Petugas penyelamat Sekretaris
Konsultan internasional Ahli kecantikan Resepsionis
Agen perjalanan Orang panggung Bagian penjualan
Pemimpin rekreasi Pramuwisata Retail
Pemain sirkus Pemuka agama

Kuning secara umum kemampuannya paling rendah untuk secara konsis- ten komit pada tuntutan meraih keberhasilan finansial atau dunia karir.

Kekuatan Karakter Umum Setiap Warna Kepribadian
NO MERAH BIRU PUTIH KUNING
1 Setia pada tugas Setia pada orang Toleran Positif
2 Komit Komit Sabar Pemaaf
3 Memiliki visi ke depan Berorientasi pada kualitas Mau berkerja
sama Bersahabat
4 Logis Tulus Menerima Optimis
5 Pemimpin Jujur Objektif Percaya
6 Terfokus Penuh tekad Seimbang Menghargai
7 Bertanggung jawab Bermoral Hebat dalam mendengarkan Terbuka


Keterbatasan Karakter Umum Setiap Warna Kepribadian
NO MERAH BIRU PUTIH KUNING
1 Sombong (arogan) Merasa diri paling benar Takut-takut Tidak komit
2 Tidak peka Menghakimi Diam-diam keras kepala Tidak konsisten
3 Buruk dalam mendengarkan Mudah depresi Tidak jujur secara emosional Banyak tingkah
4 Tidak taktis Suka mengatur Malas Tidak bertanggung jawab
5 Pemberontak Suka memaafkan Tidak mau terlibat Pemberontak
6 Kritis pada orang lain Curiga Tergantung Terpusat pada diri sendiri
7 Tidak sabar Tidak rasional Tidak punya arah Permisif



Demografi dan Kepribadian

Komposisi populasi
Merah 25 %
Biru 35 %
Putih 20 %.
Kuning 20 %

Contoh Bangsa-Bangsa di Dunia
Merah: Cina, Jepang, Jerman
Biru: Amerika serikat, Inggris, Denmark
Putih: Finlandia, Swiss, Kanada
Kuning: Meksiko, Brazil, Australia

Hubungan antar Tipe Kepribadian

1. Kesamaan komplementer
-Merah - Kuning
-Biru - Putih

2. Berlawanan tidak komplementer
-Merah – Biru

3. Berlawanan komplementer
-Merah – Putih
-Kuning – Biru

4. Berlawanan Nyaman
-Kuning - Putih

Orang berperilaku dalam empat pola dasar.
1. Berkarakter
2. Sehat
3. Tidak sehat
4. Sakit secara psikologis




















MERAH Si PENGGUNA KEKUSAAN
1. Aktif dan produktif
2. Visionaris
3. Tidak sensitif dan egois
4. Raja rimba
5. Menuntut dan banyak kritik
Merasa tidak aman
Harus selalu benar
Suka bersaing dan berani bertindak
Ngotot dan menuntut banyak
Asertif dan penu tekat
Tidak mau kalah
Banyak akal dan mengandalkan diri sendiri
Pantang menyerah dan tidak sabar
Lihai dan manipulatif
Tidak memiliki orientasi keintiman

teori kreativitas

TEORI KREATIVITAS

[]> Pendekatan yang digunakan:
1. Kognitif
Menekankan pada kemampuan berpikir/ fungsi intelektual.

2. Kepribadian
Menekankan pada karakteristik kepribadian tertentu sebagaimana dimiliki orang-orang kreatif.

3. Integratif atau komponential
Melibatkan komponen-komponen:
+ kognitif dan kepribadian;
+ individu dan lingkungan.

4. Otak manusia (human brain)
Menggunakan pendekatan pada fungsi otak manusia dan aktivitas otak manusia.


Teori-Teori Kreativitas


Teori Kognitif
1. Teori Asosiasi
2. Teori Gestalt
3. Teori Pemrosesan Informasi
4. Teori Psikoanalisis
5. Teori Struktur Intelek
Teori Kepribadian
1. Teori Psikologi Humanistik
Teori Komponential
1. Teori Psikologi Sosial
2. Teori Komponen
3. Teori Investasi
4. Teori Sistem
5. Teori Psiko-komponential
Teori Otak Manusia
1. Teori otak kiri otak kanan (half brain function)
2. Teori gelombang otak (brain waves)

Teori Asosiasi
- Berpikir merupakan asosiasi berbagai gagasan, dan berasal dari pengalaman.
- Hukum: frekuensi, kekinian, kejelasan
- Gagasan baru dikembangkan dari gagasan lama melalui trial & error.
- Kreativitas merupakan pengaktifan koneksi mental untuk menemukan kombinasi gagasan
a. Kreativitas dilakukan melalui asosiasi langsung atau analogi
b. Makin banyak asosiasi makin kreatif
Teori Gestalt
- Kreativitas => pembentukan Gestalt dari pola-pola yang kurang berstruktur.
- Kreativitas dimulai dari permasalahan.
- Kreativitas; menghasilkan gagasan baru/ insight melalui imajinasi; bukan melalui pikiran logis yang realistis.

Teori Pemrosesan Informasi
Dasar teori: proses pemecahan masalah
- Komponen masalah:
Present state, future state, rule



- Jika ketiga komponen itu tidak jelas atau tidak pasti, maka diperlukan pemecahan kreatif.

Teori Psikoanalisis (S. Freud)
a. Berpikir proses primer
- Unconscious (ketidaksadaran)
- Prinsip kenikmatan/kesenangan
- Berorientasi pada diri individu
- Energi psikis besar
b. Berpikir proses sekunder
- Conscious (kesadaran)
- Prinsip realitas
- Berorientasi pada lingkungan
- Energi psikis lebih sedikit
c. Kreativitas merupakan sublimasi karena konflik intra-psikis (a dan b)
d. Neopsikoanalisis ==>
- Kreativitas => hasil pikiran prasadar, bukan bawah sadar
- Kreativitas => pikiran rileks,
ego bebas dari konflik

Teori Struktur Intelek (Guilford)
Dasar: Divergent thinking
Kemampuan Berpikir Diverjen
1. Fluency
Kelancaran berpikir;
- Kemampuan menghasilkan gagasan banyak
2. Flexibility
Keluwesan dalam memikirkan sesuatu.
a. Memandang sesuatu/masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda.
b. Menggunakan pendekatan berbeda-beda terhadap suatu masalah.
3. Originality
Keaslian berpikir:
a. Berpikir tidak umum/lazim (unusual)
b. Unik
c. Hasil pemikiran sendiri (bukan tiruan)
4. Elaboration
Kemampuan merinci gagasan pokok

Teori Psikologi Humanistik (C. Rogers)
Tiga komponen pokok:
a. Proses kreatif
1) Hasil karya (tangible product)
2) Baru
3) Tidak terbatas bidang tertentu
b. Individu
1) Motivasi ===> aktualisasi diri
2) Ekstensionalitas >< pertahanan psi. 3) Evaluasi internal >< eksternal 4) Kemampuan bermain-main dengan elemen dan konsep (eksperimen) c. Lingkungan - Keamanan & kebebasan psikologis - Diciptakan melalui: + menerima individu apa adanya + tanpa penilaian dari luar + pemahaman secara empati Teori Komponen (Urban, 1996) Kreativitas: Interaksi komponen kognitif dengan kepribadian ===> Cognitive components
1. Divergent thinking and acting
2. General knowledge and thinking base
3. Specific knowledge base and area specific skills

===> Personality components
4. Focusing and task commitment
5. Motivation and motives
6. Openness and tolerance of ambiguity

Teori Psikologi Sosial (Amabile, 1983)
a. Pendekatan
Kerangka kerja komponential
b. Batasan kreativitas
1) Tugas/task ==> heuristik
2) Jawaban ==> tepat, benar, berguna
c. Kriteria karya kreatif
Tergantung penilaian ahli di bidangnya
d. Tiga komponen yang terlibat
1) Domain relevant skills
- Knowledge based domain
2) Creative relevant skills
- Gaya kognitif
- Pengetahuan heuristik
- Gaya kerja yang kondusif
3) Task motivation
Intrinsic motivation >< extrinsic motivation Teori Investasi (Sternberg&Lubart, 1995) Prinsip ide ==>
++ Buy low, sell high
++ Sinergi atau keseimbangan berbagai sumber kapasitas individu dan lingkungan
Sumber kapasitas/kreativitas

1. Intelligence
Sintetis, analitis, dan praktis
2. Knowledge
Pengetahuan formal dan informal
3. Thinking styles
Legislative style >< executive 4. Personality - Perseverance in facing obstacles - Willingness to take sensible risk - Willingness to grow - Tolerance of ambiguity - Openness to experience 5. Motivation - Intrinsic and extrinsic - Achievement motivation - Self-actualization - Organization ==> work and live
- Need for novelty

6. Environmental context
- Context of work
- Task constraints
- Evaluation
- Competition
- Cooperation
- Home climate
- School climate
- Societal ambiance

==TEORI SISTEM==
(Csikszentmihalyi, 1996)

Creativity is any act, idea, or product that changes an existing domain, or that transform an existing domain into a new one.

A creative person is someone whose thoughts or actions change a domain, or establish a new domain.

Asumsi:
1. Creativity with a capital C = Change some aspects of the culture, is never only in the mind of person.
- dipahami orang lain
- lulus seleksi dari pakar bidang
- dimasukkan dalam kawasan tertentu

2. Creativity is not what is it but where is it.

Creativity can be observed only in the interrelations of a system made up of three main parts or components: domain, field, and individual person.

Tiga Komponen Sistem Kreatif
1. Domain (kawasan)
Terdiri: aturan-aturan simbolik dan prosedur. Misalnya matematika, teori, yang semua itu bagian dari budaya yang diwariskan.
2. Field (lapangan)
Terdiri: semua orang yang bertindak sebagai gatekeepers pada suatu kawasan. Mereka memutuskan apakah ide baru atau karya baru dapat dimasukkan ke dalam kawasan tersebut atau tidak.
Contoh bidang seni visual: guru seni, kurotur museum, kolektor seni, kritikus seni, dan administrator yayasan dan pemerintah yang mengurus seni.
3. Individual person
Kreativitas terjadi jika seseorang mempunyai gagasan baru atau melihat suatu pola baru dengan menggunakan simbol suatu kawasan (musik, teknologi, bisnis, atau matematika), dan jika hal baru tersebut telah diseleksi oleh orang-orang yang berkompeten di bidang/ kawasan tersebut.























1. Left hemisphere of the brain (otak kiri):
- Analitical cognition, linear, sequential processing.
- Verbal and linguistic tasks.

2. Right hemisphere of the brain (otak kanan):
- Syncretic cognition, parallel & global processing.
- Simbolic nonverbal behaviors.
- Expression and recognition of emotion.








4 Brain States, by electrical wafe (EEG)
1. Beta wave
Logical thinking and concrete problem solving
2. Alpha wave
Rilex such as daydream, imagine or visualize
3. Theta wave
The unconscious mind, and are active during dream sleep and deep mediaton; repository of our repressed emotion, suppressed creativity
4. Delta wave
As a kind of radar, deepest level of unconscious mind, reflecting strong inner knowledge, deepest stages of sleep

psikodiagnostik

TES GRAFIS SEBAGAI ALAT PSIKODIAGNOSTIK

Pendahuluan

Dalam dekade terakhir, pemeriksaan psikologi mempunyai pengaruh besar pada kehidupan manusia Indonesia. Kebanyakan dari mereka yang bersekolah, masuk perguruan tinggi, melamar pekerjaan, ikut seleksi untuk menduduki jabatan tertentu, pernah mengikuti suatu pemeriksaan psikologi. Pemeriksaan psikologi yang mereka jalani tidak selalu sama, tergantung dari tujuan pemeriksaan dan alat pemeriksaan yang digunakanpun berlainan. Misalnya siswa Taman Kanak-kanak menjalani pemeriksaan psikologi agar dapat diketahui kesiapan anak untuk mengikuti pelajaran di Sekolah. Tes yang berbeda dipakai untuk siswa kelas 11 Sekolah Menengah Umum yang bertujuan untuk menentukan apakah yang bersangkutan lebih sesuai untuk jurusan IPA, IPS, BAHASA atau DLL 
Dengan semakin meningkatnya penggunaan jasa psikologi dalam berbagai bidang, maka tidaklah mengherankan apabila muncul banyak biro psikologi dan meningkatnya peminat untuk mengikuti pendidikan psikologi karena psikologi kini dianggap sebagai lahan yang dapat memberikan penghasilan yang layak. Untuk berbicara lebih jauh tentang psikologi dan tes psikologi, kita perlu meninjau sejarahnya.
Sebenarnya psikologi sebagai suatu ilmu baru berkembang di abad ke 19 di Eropa, walaupun sudah sejak jaman dulu Plato dan Aristo telah menulis tentang adanya perbedaan-perbedaan individual. Para ilmuan Jerman-lah yang mulai mengembangkan ilmu psikologi pada akhir abad 19, yaitu Fechner, Wundt, Ebbinghaus dan sebagainya. Penelitian-penelitian yang dilakukan para psikiater dan psikolog perancis di bidang gangguan-gangguan mental mempengaruhi perkembangan tehnik-tehnik assessment Klinis dan tes dan ini berakibat pada pengembangan tes prestasi dan skala psikologi yang dibakukan. Ilmuan lainnya yang terlibat dalam pengembangan alat ukur psikologi yang dianggap menonjol pada jaman itu adalah Galton dari Inggris, Cattell dari Amerika dan Binet dari Perancis.
Pionir lainnya adalah Spearman yang mengembangkan teori tes, Terman yang mengembangkan tes kecerdasan sedangkan Woodworth dan Rorschach mengembangkan tes kepribadian. Edward Strong berkecimpung dalam pengembangan tes minat.
Dengan terjadinya Perang Dunia I, sekelompok psikolog di Amerika Serikat mengembangkan tes untuk mengukur kemampuan mental, khususnya tes inteligensi untuk ribuan tentara Amerika selama Perang Dunia I dan sesudahnya. Tes ini dikenal dengan Army Alpha untuk yang berpendidikan dan Army Beta untuk yang tidak berpendidikan. Tes yang dikembangkan Woodworth adalah inventori kepribadian yang pertama dibakukan dan digunakan dalam seleksi tentara, dikenal sebagai Personal Data Sheet. Sejak tahun 1920-an bidang testing psikologi berkembang dengan pesat dan kini ratusan tes psikologi dibuat dan dijual, terutama di negara-negara barat. Untuk mengetahui tes apa saja dan apa tujuan tes tersebut, dapat ditelusuri melalui berbagai katalog yang diterbitkan instansi-instansi penjual tes. Makalah ini memberikan sedikit gambaran tentang tes psikologi terutama tes grafis yang banyak dipakai dalam pemeriksaan psikologi di Indonesia.

Klasifikasi Tes
Apabila kita ingin menggunakan suatu tes tertentu, perlu diketahui secara mendalam tes tersebut, yaitu:
- Tujuan tes tersebut
- Tes dapat diberikan secara individual atau kelompok
- Standardisasi tes : norma, validitas, reliabilitas
- Tes obyektif atau non-obyektif
- Administrasi tes
- Latar belakang teoretik tes tersebut
- Apakah tes sesuai untuk digunakan di Indonesia

Tanpa penguasaan yang mendalam tentang tes yang digunakan disamping latar belakang teoretik (psikodinamika) yang memadai, maka hasil tes berupa angka atau grafik dan sebagainya tidak akan bermanfaat banyak, bahkan ada kemungkinan terjadinya kesalahan dalam analisis sehingga akan merugikan si pemakai jasa. Ratusan tes psikologi yang kini diperjual-belikan dapat dimasukkan dalam kelompok-kelompok menurut tujuan atau sifatnya.

1. Tes Individual dan tes kelompok
Tes individual adalah tes yang diberikan perorangan yaitu tester berhadapan dengan testee, misalnya tes Rorschach, Stanford Binet Intelligence Test dan Wechsler Bellevue Intelligence Scale. Tes kelompok diberikan tester pada sekelompok testee, misalnya Progressive Matricee-60 dari Raven dan Tes Kode.

2. Sekelompok Speed & Power test, yang didasarkan atas batas waktu tes. Speed test terdiri dari banyak soal yang mudah akan tetapi waktu sangat dibatasi sehingga hampir tidak ada yang selesai dalam batas waktu yang diberikan. Sedangkan power test adalah kebalikan dari speed test. Tes ini terdiri dari banyak item yang sukar.

3. Kelompok tes obyektif dan non-obyektif, yang didasarkan atas sistem penilaian. Suatu tes obyektif mempunyai standar penilaian yang obyektif yang sudah ditentukan. Seorang bukan psikologpun dapat melakukan penilaian tetapi tidak dapat melakukan interpretasi. Sebaliknya, melakukan penilaian terhadap tes essay dan berbagai macam tes kepribadian seringkali bersifat subyektif dan 2 orang penilai akan memberikan hasil yang mungkin berbeda.

4. Klasifikasi lain yang disesuaikan dengan isi atau proses adalah kelompok tes kognitif dan tes afektif. Tes kognitif mengukur proses-proses dan hasil kemampuan mental (kognisi) dan seringkali disebut sebagai tes prestasi dan bakat. Suatu tes prestasi menjaring pengetahuan subyek tentang topik tertentu dan terfokus pada perilaku yang telah lalu, yaitu apa yang pernah dipelajari dan dicapai. Bedanya dengan tes bakat adalah bahwa tes bakat memusatkannya pada perilaku yang akan datang yaitu kemampuan subyek untuk belajar dengan latihan yang sesuai. Misalnya : tes untuk bakat mekanis dan klerikal dikembangkan untuk menarik manfaat dari latihan lebih lanjut dalam tugas-tugas mekanis dan klerikal. Tetapi sebenarnya prestasi dan bakat tidak dapat dipisahkan karena apa yang telah dicapai seseorang di masa lalu biasanya merupakan indikator cukup baik untuk sesuatu yang diharapkan di masa mendatang. Berbeda dengan kelompok diatas adalah kelompok tes afektif yang dirancang untuk menjaring minat, sikap, nilai, motif, ciri-ciri temperamen dan aspek-aspek non-kognitif dari kepribadian. Berbagai tehnik diciptakan untuk menjaring tujuan ini, misalnya observasi perilaku, inventori dan tehnik proyektif.

Friday, January 21, 2011

problem solve

PEMECAHAN MASALAH
A. Berpikir
Berpikir merupakan aktivitas kognitif yang lebih tinggi (Higher Order Cognition) dan melibatkan proses-proses kognitif yang lebih rendah (Lower Order Cognition) misalnya persepsi, ingatan, dan konsep-konsep. Pada umumnya berpikir diarahkan untuk menghasilkan pemecahan suatu masalah atau kesulitan.
Pemikiran menggunakan beberapa asumsi :
 Setiap komponen proses kognitif tidak dapat dipisahkan dengan komponen lainnya.
 Proses-proses kognitif yang lebih tinggi (HOC) didasarkan pada proses-proses yang lebih rendah (LOC).
 Aktivitas pemecahan masalah atau pembentukan konsep elibatkan proses berpikir juga penalaran.
Berpikir dapat didefinisikan sebagai proses menghasilkan representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara komplek antara atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah (Glass da Holyoak, 1986; Solso, 1988).
Proses berpikir normal meliputi tiga komponen :
 Berpikir adalah aktivitas kognitif yang terjadi dalam mental atau pikiran seseorang.
 Berpikir merupaan proses yang melibatkan beerapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif. Pengetahuan ang pernah dimiliki diabung dengan informasi sehingga mengubah pengetahuan seseorang mengenai situasi yang sedang dihadapi.
 Aktivitas berpikir diarahkan untuk menghasilkan pemecahan masalah.
B. Masalah (Problem)
Masalah/problem merupakan kesenjangan antara situasi yang dihadapi sekarang (present state) dengan tujuan yang diinginkan (desired goal or future state ). Keadaan sekarang disebut original state, sedangkan keadaan yang diharapkan disebut final state.
Secara visual suatu masalah melibatkan tiga komponen :
• Suatu keadaan sekarang atau yang sedang dihadapi (start).
• Keadaan atau tujuan yang diinginkan (goal).
• Prosedur atau aturan yang akan ditempuh apakah menurut pendekatan algoritmik atau heuristik.

C. Jenis Masalah
Secara umum masalah dapat dibedakan : masalah yang jelas dan masalah yang tidak jelas. Psikologi kogniyif mempelajari masalah-masalah yang memiliki tingkat kesulitan sedang, sehingga dapat diketahui bagaimana proses-proses kognitif yang terlibat di dalamnya. Misalnya, inducing structured, problem, transformation problem, dan arrangement problem.
Masalah yang jelas dan masalah yang tidak jelas
Berdasarkan tingkat masalah yang dihadapi, Evans (1991) membagi masalah menjadi 4 macam.
a) Masalah-masalah baik situasi sekarang maupun situasi yang diinginkan, keduanya diketahui. Jenis ini merupakan masalah –masalah yang mudah dipecahkan, termasuk masalah yang memiliki struktur jelas atau structured problem.
b) Masalah yang diketahui hanya pada situasi sekarang, tetapi situasi yang diinginkan tidak diketahui.
c) Masalah situasi yang diinginkan diketahui, tetapi situasi sekarang tidak diketahui. Jenis kedua dan ketiga ini termasuk kategori yang memiliki tingkat kesulitan sedang.
d) Masalah-masalah yang baik situasi sekarang maupun situasi yang diinginkan tidak diketahui. Jenis keempat ini merupakan masalah yang sangat kompleks atau sulit dipecahkan, termasuk unstructured problem.
Menurut Greeno (dalam Ellis and Hunt, 1993) masalah atau pronblem dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan proses-proses kognitif yang terlibat di dalam pemecahan masalah yaitu : inducing structured problem, transformation problem dan arrangement problem.
a) Inducing structured problem
Jenis masalah ini meminta seseorang untuk menemukan pola yang akan menghubungkan elemen-elemen masalah, antara satu elemen dengan yang lain.
b) Transformation Problem
Jenis maslah ini seseorang harus memanipulasi atau mengubah obyek-obyek dan simbol-simbol menurut aturan tertentu agar diperoleh suatu pemecahan.
c) Arrangement Problem
Jenis masalah ini seseorang harus mengatur atau menyusun ulang elemen-elemen suatu tugas agar diperoleh pemecahan.
D. Tahapan Pemecahan Masalah
Menurut Evans (1991) pemecahan masalah adalah suatu aktivitas yang berhubungan dengan pemilihan jalan keluar atau cara yang cocok bagi tindakan dan pengubahan kondisi sekarang (present state) menuju kondisi yang diharapkan (future state atau desired goal).
Langkah-langkah pemecahan masalah meliputi : pemahaman masalah, mencari beberapa gagasan bagi pemecahan, memilih salah satu yang paling memungkinkan, kemudian melaksanakan serta mengevaluasi hasil-hasilnya.
Pemahaman Masalah (Problem Understanding)
Agar dapat diperoleh suatu pemecahan yang benar, seseorang harus terlebih dahulu memahami dan mengenali gambaran pokok pesolan secara jelas.
Representasi Mental
Representasi masalah menunjuk pada proses mempersepsi dan menginterpretasi pokok persoalan. Aktivitas akan menghasilkan sejumlah identifikasi yang meliputi : (1) apa yang menjadi permasalahan sesungguhnya, (2) apa yang menjadi kriteria pemecahan, (3) keterbatasan-keterbatasan tertentu, dan (4) berbagai acam alternatif bagi pemecahan masalah.
Ruang Masalah
Ruang masalah juga sangat menentukan tingkat kemudahan atau kesulitan seseorang untuk mencari pemecahannya. Sebagai pegangan bahwa makin luas ruang suatu masalah maka makin sulit mencari jalan keluar atau pemecahannya.
Kesenjangan antara keadaan sekarang dengan yang diinginkan
Jarak kesenjangan antara keadaa yang sedang dihadapi sekarang (present state) dengan keadaan yag diinginkan (desired goal) juga mempengaruhi tingkat kemudahan atau kesulitan orang dalam memecahkan masalah.
E. Cara-Cara Mempresentasikan Masalah
Representasi masalah merupakan hal yang penting baik bagi pemahaman masalah maupun untuk mencari jalan keluarnya.Cara-cara yang dapat ditempuh untuk mempresentasikan masalah adalah membuat daftar sifat, metrik, pohon bercabang, grafik dan gambar.
 Simbol
Salah satu cara yang dianggap efektif untuk mempresentasikan persoalan yang abstrak ialah melalui simbol.
 Daftar
Representasi masalah di dalam bentuk daftar sifat-sifat sangat membantu memecahkan masalah. Namun jika suatu masalah cukup rumit dan memiliki banyak sifat serta dimensi yang berbeda-beda, seseorang akan mengalami kesulitan sehingga model ini menjadi tidak efektif lagi untuk mempesentasikan masalah itu.
 Metrik
Metrik adalah suatu bagan (chart) yang menunjukkan kemungkinan sejumlah kombinasi. Metrik juga membantu terutama jika masalah begitu kompleks.
 Diagram pohon bercabang hirarkhis
Diagram seperti pohon bercabang menunjukkan duakali lebih sukses seperti juga penggunaan daftar dalam menghasilkan jawaban yang benar.
 Grafik
Jika masalah tidak dapat dipresentasikan dalam bentuk simbol, daftar sifat, metrik, dan diagram pohon bercabang, namun harus digunakan bentuk representasi yang lain karena dianggap lebih cocok.
F. Metode Pemecahan Masalah
Metode atau strategi pemecahan masalah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Algoritmik
Suatu strategi yang menjamin ditemukan suatu pemecahan. Algoritmik bersifat deterministik. Contoh strategi algoritmik: penemuan secara acak (random search) baik sistematis maupun tidak sistematis. Metode penemuan secara acak hanya efisien pada ruang masalah yang sempit.
2) Heuristik
Adalah proses penggunaan pengetahuan seseorang untuk mengidentifikasi sejumlah jalan atau cara yang akan ditempuh dan dianggap menjanjikan bagi penemuan pemecahan suatu masalah. Strategi yang bersifat kecenderungan dan masih mengandung kemungkinan gagal. Namun kebanyakan sehari-hari orang banyak menggunakan strategi heuristik. Heuristik bersifat probalistik. Pendekatan heuristik pada ruang permasalahan yang luas. Contohnya: metode kedekatan, pengujian hipotesis, membagi masalah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, metode pencarian dengan langkah maju atau mundur, analogi atau pencocokan.
3) Proximity Methods
Seseorang menempuh jalan atau cara yang dipersepsi lebih mendekati tujuan yang diinginkan.
4) Analogi
Analogi merupakan cara yang sering digunakan orang, terutama hal ini sangat berguna bagi masalah yang relatif baru. Analogi dapat dilakukan dengan cara membandingkan pola masalah yang tengah dihadapi dengan pola masalah serupa yang pernah dialami baik oleh yang bersangkutan atau orang lain.
5) Maching
Seseorang memahami situasi yang tengah dihadapi dengan tujuan yang diinginkan.
6) Generate-Test Method
Pemecahan masalah membutuhkan dua tahapan proses. Pertama, satu cara atau strategi pemecahan yang paling memungkinkan dicari atau dihasilkan. Kedua, gagasan pemecahan yang dihasilkan itu lalu diuji apakah dapat berjalan dengan baik atau efektif. Jika belum berhasil, akan dicari pemecahan lain yang paling memungkinkan kemudian diuji atau dipraktekkan. Cara seperti ini terus dilakukan sampai akhirnya ditemukan jalan pemecahan atas masalah itu.
7) Means-Ends Analysis
Strategi ini memfokuskan perhatian seseorang pada perbedaan antara keadaan yang dihadapi dengan keadaan yang diinginkan.
8) Backward Search
Strategi ini dilakukan dengan berjalan mundur. Maksudnya, meminta orang memulai pada tujuan yang diinginkan (goal state)dan bergerak mundur menuju pada keadaan yang dihadapi semula (original state)
9) Forward Search
Strategi berjalan ke depan. Seseorang mulai dari kenyataan yang dihadapi, kemudian secara bertahap bergerak menuju pada tujuan akhir yang diinginkan.
G. Penghalang Mental di dalam Proses Pemecahan Masalah
 Functional Fixedness
Keterpakuan fungsional berarti seseoarng beranggapan bahwa fungsi dan kegunaan suatu objek atau benda adalah cenderung stabil dan menetap sepanjang waktu. Dengan kata lain, seseorang hanya memandang suatu benda berfungsi sebagaimana dirancang atau diinginkan oleh pembuatnya.
 Mental Set atau Persistence of Set
Fenomena ini menunjuk pada kecenderungan orang untuk mempertahankan aktifitas mental yang telah dilakukan secara berulang-ulang dan berhasil ketika ia menghadapi masalah serupa namundi dalam situasi yang baru atau berbeda.
 Perceptual Added Frame
Penambahan bingkai persepsual ini terjadi ketika orang yang menghadapi problem atau masalah kemudian tanpa sadar seolah-olah ia melihat adanya bingkai tersamar (pembatas) yang mengelilingi disekitar problem tersebut. Padahal ssungguhnya bingkai itu tidak ada, dan hanya ada di dalam bayangan persepsi seseorang. Bingkai tersamar ini kemudian membatasi gerak langkah orang tersebut dalam mencari jalan keluar atas persoalan yang sedang dihadapi.

 Informasi yang tidak relevan
Makin lengkap fakta yang dikumpulkan makin baik.Tetapi yang perlu diingat adalah menemukan fakta-fakta yang penting, bukan semua fakta yang membuat masalah menjadi makin tidak jelas, karena terjadi campur aduk antara fakta-fakta yang relevan dengan yang tidak relevan terhadap masalah yang dihadapi.
H. Masalah Yang Tidak Jelas
Ada sejumlah masalah yang salah satu atau lebih dari tiga komponen itu tidak memiliki kejelasan, ini disebut masalah yang samar atau tidak jelas (ill-defined problem or unstructured problem).
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan orang untuk menghadapi masalah yang tidak jelas. Pertama, seseorang mula-mula membagi suatu masalah ke dalam beberapa bagian masalah yang lebih kecil. Selanjutnya, ia mulai mengerjakan masing-masing masalah yang lebih kecil secara terpisah. Di dalam mengerjakan masalah-masalah yang lebih kecil ini seseorang tidak perlu harus melakukannya secara berurutan, tetapi dapat melompat. Sesudah semuanya diselesaikan atau hampir selesai, kemudian ia menggabungkan masing-masing ke dalam keseluruhan masalah yang tengah dipecahkan.
Kedua, penambahan variabel pembatas lain ke dalam situasi permasalahan, sehingga masalah menjadi lebih terstruktur. Salah satu hambatan dalam menghadapi masalah yang tidak jelas ialah adanya beberapa keterbatasan seseorang di dalam memahaminya, dan tentu jug mencari pemecahan yang tepat. Untuk mencapai suatu pemecahan, bagaimanapun juga orang harus sengaja membatasi kemungkinan-kemungkinan yang ada pada masalah itu, sehingga tampak menjadi lebih sederhana (simpler). Cara ini memungkinkan permasalahan dapat ditangani secara lebih mudah (manageable).
Strategi ketiga, seseorang mulai mengerjakan tugas atau memecahkan masalah meski ia belum memahami permasalahan dengan baik atau lengkap.
Strategi keempat, seeorang harus berhenti pada saat telah ditemukan suatu pemecahan meskipun belum merupakan pemecahan yang paling baik. Pada saat yang lain oran itu dapat menyempurnakannya atau mungkin menemukan alaternatif pmecahan lainyang lebih baik. Perlu diingat bahwa masalah yang tidaka jelas mengandung ketidakpastian baik kondisi yang sedang dihadpi maupun tujuan yang diinginkan, sehingga pemecahan yang dianggap baik pada waktu itu dapat bersifat sementara. Pada waktu yang lain seseorang mungkin dapa menemukan alternatif pemecahan lain yang lebih baik atsu efektif.

I. Pelatihan Ketrampilan Pemecahan Masalah
John D. Bransford dan Barry S. Stein (1984) mengajukan suatu model yang disebut IDEAL approach untuk meningkatkan ketrampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
I = Identifikasi masalah
D = Definisi dan representasi masalah
E = Eksplorasi berbagai kemungkinan strategi
A = Aksi berdasarkan strategi yang telah dipilih
L = Lihat kembali dan evaluasi hasil-hasilnya
 I = Identifikasi masalah
Identifikasi masalah atau pencarian pokok persoalan. Sepintas tampak sederhana, tapi dalam kenyataan merupakan aktifitas yang sangat penting dan menentukan tindakan-tindakan berikutnya.
 D = Definisi dan representasi masalah
Setelah masalah pokok ditemukan, tindakan berikutnya merumuskan dan menggambarkan persoalan secermat mungkin. Meskipun batas antara identifikasi masalah dan definisi masalah agak kabur, namun kedua aspek ini sebenarnya agak berbeda.Pada definisi masalah menunjuk pada dimana letak permasalahan yang sebenarnya sehingga gambaran konkrit bis dibuat.
 E = Ekplorasi berbagai kemungkinan strategi
Aktivitas ini mncakup bagaimana reaksi seseorang terhadap suatu masalah sambil mempertimbangkan pilihan strategi yang mungkin bisa digunakan.
 A = Aksi atau tindakan
Strategi-strategi yang sudah di pilih kemudian diterapkan untuk memperoleh suatu pemecahan atas masalah yang sedang dihadapi.
 L = Lihat efek-efeknya
Pada tahap akhir, orang harus melakukan evaluasi mengenai apakah strategi yang digunakan bisa berjalan dengan baik atau tidak.
J. Petunjuk Pemecahan Masalah
1) Sikap (Attitudes)
• Berpikir positif terhadap masalah
• Berpikir positif terhadap kemampuan memecahkan masalah
• Berpikir secra sistematis
2) Tindakan (Actions)
• Rumuskan masalahnya
• Cari dan kumpulkan fakta-fakta
• Fokuskan pikiran pada fakta-fakta yang penting
• Temukan gagasan masalah untuk pemecahan masalah
• Pilih gagasan yang terbaik dan laksanakan

AUM BIMBINGAN KONSELING

LEMBAR JAWABAN
ALAT UNGKAP MASALAH SMA

Nama : …………….………..…………………………………
Jenis Kelamin : …………….………..…………………………………
No. Induk : …………….………..…………………………………
Kelas : …………….………..…………………………………
Tanggal Pengisian : …………….………..…………………………………


Langkah Pertama :

Bacalah dengan seksama pernyataan-pernyataan permasalahan yang terdapat dalam Buku Daftar Masalah dan tandailah masalah yang menjadi keluhan dan mengganggu Anda pada saat sekarang, dengan cara meyilangi (X) nomor masalah yang sesuai, pada lembar jawaban ini:

JDK 001 002 003 004 005 KDP 006 007 008 009 010 PDP 011 012 013 014 015
016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030
031 032 033 034 035 036 037 038 039 040 041 042 043 044 045

046 047 048 049 050 051 052 053 054 055 056 057 058 059 060
061 062 063 064 065 066 067 068 069 070 071 072 073 074 075

DPI 076 077 078 079 080 081 082 083 084 085 086 087 088 089 090
091 092 093 094 095 096 097 098 099 100 101 102 103 104 105

106 107 108 109 110 ANM 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120
121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135

HSO 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150

151 152 153 154 155 HMM 156 157 158 159 160 KHK 161 162 163 164 165
166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180

EDK 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195

196 197 198 199 200 WSG 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210
211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225




Langkah Kedua :

Perhatikan dan baca kembali jawaban yang telah Anda isi, kemudian pilih masalah-masalah yang menurut Anda dirasakan paling mengganggu dengan cara memasukkan nomor masalah pada kolom berikut ini :

Nomor – nomor masalah yang dirasakan paling menggangu




Langkah Ketiga :

1. Apakah sudah menggambarkan seluruh masalah Anda?


Ya Tidak



2. Masalah lain yang Anda hadapi?



------------------------------------------------------------------------

------------------------------------------------------------------------

------------------------------------------------------------------------



3. Apakah Anda ingin konsultasi?

Ya Tidak



Jika “ Ya”, kepada siapa Anda ingin berkonsultasi?

a. Guru Bimbingan dan Konseling
b. Orang tua
c. Teman
d. …………………………..





















DAFTAR MASALAH



001. Badan terlalu kurus, atau terlalu gemuk
002. Warna kulit kurang memuaskan
003. Berat badan terus berkurang, atau bertambah.
004. Badan terlalu pendek, atau terlalu gemuk.
005. Secara jasmaniah kurang menarik.
006. Belum mampu memikirkan dan memilih pekerjaan yang akan dijabat nantinya.
007. Belum mengetahui bakat diri sendiri untuk jabatan/pekerjaan apa.
008. Kurang memiliki pengetahuan yang luas tentang lapangan pekerjaan dan seluk beluk jenis-jenis pekerjaan.
009. Ingin memperoleh bantuan dalam mendapatkan pekerjaan sambilan untuk melatih diri bekerja sambil sekolah.
010. Khawatir akan pekerjaan yang dijabatnya nanti; jangan-jangan memberikan penghasilan yang tidak mencukupi.
011. Terpaksa atau ragu-ragu memasuki sekolah ini.
012. Meragukan kemanfaatan memasuki sekolah ini.
013. Sukar menyesuaikan diri dengan keadaan sekolah.
014. Kurang meminati pelajaran atau jurusan atau program yang diikuti.
015. Khawatir tidak dapat menamatkan sekolah pada waktu yang direncanakan.
016. Fungsi dan/atau kondisi kesehatan mata kurang baik.
017. Mengalami gangguan tertentui karena cacat jasmani.
018. Fungsi dan/atau kondisi kesehatan hidung kurang baik.
019. Kondisi kesehatan kulit sering terganggu.
020. Gangguan pada gigi.
021. Ragu akan kemampuan saya untuk sukses dalam bekerja.
022. Belum mampu merencanakan masa depan.
023. Takut akan bayangan masa depan.
024. Mengalami masalah karena membanding-bandingkan pekerjaan yang layak atau tidak layak untuk dijabat.
025. Khawatir diperlakukan secara tidak wajar atau tidak adil dalam mencari dan/atau melamar pekerjaaan.
026. Sering tidak masuk sekolah.
027. Tugas-tugas pelajaran tidak selesai pada waktunya.
028. Sukar memahami penjelasan guru sewaktu pelajaran berlangsung.
029. Mengalami kesulitan dalam membuat catatan pelajaran.
030. Terpaksa mengikuti mata pelajaran yang tidak disukai.

031. Fungsi dan/atau kondisi kerongkongan kurang baik atau sering terganggu,misalnya serak.
032. Gagap dalam berbicara.
033. Fungsi dan/atau kondisi kesehatan telinga kurang baik.
034. Kurang mampu berolahraga karena kondisi jasmani yang kurang baik.
035. Gangguan pada pencernaan makanan.
036. Kurang yakin terhadap kamampuan pendidikan sekarang ini dalam menyiapkan jabatan tertentu nantinya.
037. Ragu tentang kesempatan memperoleh pekerjaan sesuai dengan pendidikan yang diikuti sekarang ini.
038. Ingin mengikuti kegiatan pelajaran dan/atau latihan khusus tertentu yang benar-benar menunjang proses mencari dan melamar pekerjaan setamat pendidikan ini.
039. Cemas kalau menjadi penganggur setamat pendidikan ini.
040. Ragu apakah setamat pendidikan ini dapat bekerja secara mandiri.
041. Gelisah dan/atau melakukan kegiatan tidak menentu sewaktu pelajaran berlangsung, misalnya membuat coret-coretan dalam buku,cenderung mengganggu teman.
042. Sering malas belajar.
043. Kurang konsentrasi dalam mengikuti pelajaran.
044. Khawatir tugas-tugas pelajaran hasilnya kurang memuaskan atau rendah.
045. Mengalami masalah kerena kemajuan atau hasil belajar hanya diberitahukan pada akhir catur wulan.
046. Sering pusing dan/atau mudah sakit.
047. Mengalami gangguan setiap datang bulan.
048. Secara umum merasa tidak sehat.
049. Khawatir mengidap penyakit turunan.
050. Selera makan sering terganggu.
051. Hasil belajar atau nilai-nilai kurang memuaskan.
052. Mengalami masalah dalam belajar kelompok.
053. Kurang berminat dan/atau kurang mampu mempelajari buku pelajaran.
054. Takut dan/atau kurang mampu berbicara di dalam kelas dan/atau di luar kelas.
055. Mengalami kesulitan dalam ejaan, tata bahasa dan/atau perbendaharaan kata dalam Bahasa Indonesia.
056. Mengalami masalah dalam menjawab pertanyaan ujian.
057. Tidak mengetahui dan/atau tidak mampu menerapkan cara-cara belajar yang baik.
058. Kekurangan waktu untuk belajar.
059. Mengalami masalah dalam menyusun makalah, laporan atau karya tulis lainnya.
060. Sukar mendapatkan buku pelajaran yang diperlukan.
061. Mengidap penyakit kambuhan.
062. Alergi terhadap makanan atau keadaan tertentu.
063. Kurang atau susah tidur.
064. Mengalami gangguan akibat merokok atau minuman atau obat-obatan.
065. Khawatir tertular penyakit yang diderita orang lain.
066. Mengalami kesulitan dalam pemahaman dan penggunaan istilah dan/atau Bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya.
067. Kesulitan dalam membaca cepat dan/atau memahami isi buku pelajaran.
068. Takut menghadapi ulangan/ujian.
069. Khawatir memperoleh nilai rendah dalam ulangan/ujian ataupun tugas-tugas.
070. Kesulitan dalam mengingat materi pelajaran.
071. Seringkali tidak siap menghadapi ujian.
072. Sarana belajar di sekolah kurang memadai.
073. Orang tua kurang peduli dan/atau kurang membantu kegiatan belajar di sekolah dan/atau dirumah.
074. Anggota keluarga kurang peduli dan/atau kurang membantu kegiatan belajar di sekolah dan/atau dirumah.
075. Sarana belajar dirumah kurang memadai.
076. Sering mimpi buruk.
077. Cemas atau khawatir tentang sesuatu yang belum pasti.
078. Mudah lupa.
079. Sering melamun atau berkhayal.
080. Ceroboh atau kurang hati-hati.
081. Cara guru menyajikan pelajaran terlalu kaku dan/atau membosankan.
082. Guru kurang bersahabat dan/atau membimbing siswa.
083. Mengalami masalah karena disiplin yang diterapkan oleh guru.
084. Dirugikan karena dalam menilai kemajuan atau keberhasilan siswa guru kurang objektif.
085. Guru kurang memberikan tanggung jawab kepada siswa.
086. Guru kurang adil atau pilih kasih.
087. Ingin dekat dengan guru.
088. Guru kurang memperhatikan kebutuhan dan/atau keadaan siswa.
089. Mendapat perhatian khusus dari guru tertentu.
090. Dalam memberikan pelajaran dan/atau berhubungan dengan siswa sikap dan/atau tindakan guru sering berubah-ubah sehingga membingungkan siswa.




091. Sering murung dan/atau merasa tidak bahagia.
092. Mengalami kerugian atau kesulitan karena terlampau hati-hati.
093. Kurang serius menghadapi sesuatu yang penting.
094. Merasa hidup ini kurang berarti.
095. Sering gagal dan/atau mudah patah semangat.
096. Khawatir akan dipaksa melanjutkan pelajaran setamat sekolah ini.
097. Kekurangan informasi tentang pendidikan lanjutan yang dapat dimasuki setamat sekolah ini.
098. Ragu tentang kemanfaatan pendidikan lanjutan setamat sekolah ini.
099. Khawatir tidak mampu melanjutkan pelajaran setamat dari sekolah ini dan/atau terlalu memikirkan pendidikan lanjutan setamat sekolah ini.
100. Ragu apakah sekolah sekarang ini mampu memberikan modal yang kuat bagi para siswanya untuk menempuh pendidikan yang lebih lanjut.
101. Khawatir tidak tersedia biaya untuk melanjutkan pekerjaan setamat sekolah ini.
102. Tidak dapat mengambil keputusan tentang apakah akan mencari pekerjaan atau melanjutkan pelajaran setamat sekolah ini.
103. Khawatir tuntutan dan proses pendidikan lanjutan setamat sekolah ini sangat berat.
104. Terdapat pertentangan pendapat dengan orang tua dan/atau anggota keluarga lain tentang rencana melanjutkan pelajaran setamat sekolah ini.
105. Khawatir tidak mampu bersaing dalam upaya memasuki pendidikan lanjutan setamat sekolah ini.
106. Mudah gentar atau khawatir dalam menghadapi dan/atau mengemukakan sesuatu.
107. Penakut, pemalu, dan/atau mudah menjadi bingung.
108. Keras kepala atau sukar mengubah pendapat sendiri meskipun kata orang lain pendapat itu salah.
109. Takut mencoba sesuatu yang baru.
110. Mudah marah atau tidak mampu mengendalikan diri.
111. Mengalami masalah untuk pergi ke tempat peribadatan.
112. Mempunyai pandangan dan/atau kebiasaan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah agama.
113. Tidak mampu melaksanakan tuntutan keagamaan dan/atau khawatir tidak mampu menghindari larangan yang ditentukan oleh agama.
114. Kurang menyukai pembicaraan tentang agama.
115. Ragu dan ingin memperoleh penjelasan lebih banyak tentang kaidah-kaidah agama.
116. Mengalami kesulitan dalam mendalami agama.
117. Tidak memiliki kecakapan dan/atau sarana untuk melaksanakan ibadah agama.
118. Mengalami masalah karena membandingkan agama yang satu dengan yang lainnya.
119. Bermasalah karena anggota keluarga tidak seagama.
120. Belum menjalankan ibadah agama sebagaimana diharapkan.
121. Merasa kesepian dan/atau takut ditinggal sendiri.
122. Sering bertingkah laku, bertindak, atau bersikap kekanak-kanakan.
123. Rendah diri atau kurang percaya diri.
124. Kurang terbuka terhadap orang lain.
125. Sering membesar-besarkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu.
126. Berkata dusta dan/atau berbuat tidak jujur untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti membohongi teman,berlaku curang dalam ujian.
127. Kurang mengetahui hal-hal yang menurut orang lain dianggap baik atau buruk,benar atau salah.
128. Tidak dapat mengambil keputusan tentang sesuatu karena kurang memahami baik-buruknya atau benar-salahnya sesuatu itu.
129. Merasa terganggu oleh kesalahan atau keburukan orang lain.
130. Tidak mengetahui cara-cara yang tepat untuk mengatakan kepada orang lain tentang sesuatu yang baik atau buruk,benar atau salah.
131. Khawatir atau merasa ketakutan akan akibat perbuatan melanggar kaidah-kaidah agama.
132. Kurang menyukai pembicaraan yang dilontarkan di tempat peribadatan.
133. Kurang taat dan/atau kurang khusyuk dalam menjalankan ibadah agama.
134. Mengalami masalah karena memiliki pandangan dan/atau sikap keagamaan yang cenderung fanatik atau berprasangka.
135. Meragukan manfaat ibadah dan/atau upacara keagamaan.
136. Tidak menyukai atau tidak disukai seseorang.
137. Merasa diperhatikan, dibicarakan atau diperolokkan orang lain.
138. Mengalami masalah karena ingin lebih terkenal atau lebih menarik atau lebih menyenangkan bagi orang lain.
139. Mempunyai kawan yang kurang disukai orang lain.
140. Tidak mempunyai kawan akrab, hubungan sosial terbatas atau terisolir.
141. Merasa terganggu karena melakukan sesuatu yang menjadikan orang lain tidak senang.
142. Terlanjur berbicara, bertindak atau bersikap yang tidak layak kepada orang tua dan/atau orang lain.
143. Sering ditegur karena dianggap melakukan kesalahan, pelanggaran atau sesuatu yang tidak layak.
144. Mengalami masalah karena berbohong atau berkata tidak layak meskipun sebenarnya dengan maksud sekedar berolok-olok atau menimbulkan suasana gembira.
145. Tidak melakukan sesuatu yang sesungguhnya perlu dilakukan.
146. Takut dipersalahkan karena melanggar adat.
147. Mengalami masalah karena memiliki kebiasaan yang berbeda dari orang lain.
148. Terlanjur melakukan sesuatu perbuatan yang salah, atau melanggar nilai-nilai moral atau adat.
149. Merasa bersalah karena terpaksa mengingkari janji.
150. Mengalami persoalan karena berbeda pendapat tentang suatu aturan dalam adat.
151. Kurang perduli terhadap orang lain.
152. Rapuh dalam berteman.
153. Merasa tudak dianggap penting, diremehkan atau dikecam oleh orang lain.
154. Mengalami masalah dengan orang lain karena kurang perduli terhadap diri sendiri.
155. Canggung dan/atau tidak lancar berkomunikasi dengan orang lain.
156. Membutuhkan keterangan tentang persoalan seks, pacaran dan/atau perkawinan.
157. Mengalami masalah karena malu dan kurang terbuka dalam membicarakan soal seks, pacar dan/atau jodoh.
158. Khawatir tidak mendapatkan pacar atau jodoh yang baik/cocok.
159. Terlalu memikirkan tentang seks, percintaan, pacaran atau perkawinan.
160. Mengalami masalah karena dilarang atau merasa tidak patut berpacaran.
161. Bermasalah karena kedua orang tua hidup berpisah atau bercerai.
162. Mengalami masalah karena ayah dan/atau ibu kandung telah meninggal.
163. Mengkhawatirkan kondisi kesehatan anggota keluarga.
164. Mengalami masalah karena keadaan dan perlengkapan tempat tinggal dan/atau rumah orang tua kurang memadai.
165. Mengkhawatirkan kondisi orang tua yang bekerja terlalu berat.
166. Tidak lincah dan kurang mengetahui tentang tata krama pergaulan.
167. Kurang pandai memimpin dan/atau mudah dipengaruhi orang lain.
168. Sering membantah atau tidak menyukai sesuatu yang dikatakan/dirasakan orang lain atau dikatakan sombong.
169. Mudah tersinggung atau sakit hati dalam berhubungan dengan orang lain.
170. Lambat menjalin persahabatan.
171. Kurang mendapat perhatian dari jenis kelamin lain atau pacar.
172. Mengalami masalah karena ingin mempunyai pacar.
173. Canggung dalam menghadapi jenis kelamin lain atau pacar.
174. Sukar mengendalikan dorongan seksual.
175. Mengalami masalah dalam memilih teman akrab dari jenis kelamin lain atau pacar.
176. Keluarga mengeluh tentang keadaan keuangan.
177. Mengkhawatirkan keadaan orang tua yang bertempat tinggal jauh.
178. Bermasalah karena ibu atau bapak akan kawin lagi.
179. Khawatir tidak mampu memenuhi tuntutan atau harapan orang tua atau anggota keluarga lain.
180. Membayangkan dan berpikir-pikir seandainya menjadi anak dari keluarga lain.
181. Mengalami masalah karena kurang mampu berhemat atau kemampuan keuangan sangat tidak mencukupi, baik untuk keperluan sehari-hari maupun keperluan pekerjaan.
182. Khawatir tidak mampu menamatkan sekolah ini atau putus sekolah dan harus segera bekerja.
183. Mengalami masalah karena terlalu berhemat dan/atau ingin menabung.
184. Kekurangan dalam keuangan menyebabkan dalam pengembangan diri terhambat.
185. Untuk memenuhi keuangan terpaksa sekolah sambil bekerja.
186. Mengalami masalah karena takut atau sudah terlalu jauh berhubungan dengan jenis kelamin lain atau pacar.
187. Bertepuk sebelah tangan dengan kawan akrab atau pacar.
188. Takut ditinggalkan pacar atau patah hati, cemburu atau cinta segitiga.
189. Khawatir akan dipaksa kawin.
190. Mengalami masalah karena sering dan mudah jatuh cinta dan/atau rindu kepada pacar.
191. Kurang mendapat perhatian dan pengertian dari orang tua dan/atau anggota keluarga.
192. Mengalami kesulitan dengan bapak atau ibu tiri.
193. Diperlakukan tidak adil oleh orang tua atau oleh anggota keluarga lainnya.
194. Khawatir akan terjadinya pertentangan atau percekcokan dalam keluarga.
195. Hubungan dengan orang tua dan anggota keluarga kurang hangat, kurang harmonis dan/atau kurang menggembirakan.
196. Mengalami masalah karena ingin berpenghasilan sendiri.
197. Berhutang yang cukup memberatkan.
198. Besarnya uang yang diperoleh dan sumber-sumbernya tidak menentu.
199. Khawatir akan kondisi keuangan orang tua atau orang yang menjadi sumber keuangan; jangan-jangan harus menjual atau menggadaikan harta keluarga.
200. Mengalami masalah karena keuangan dikendalikan oleh orang lain.
201. Kekurangan waktu senggang, seprti waktu istirahat, waktu luang d sekolah ataupun dirumah, waktu libur untuk bersikap santai dan/atau melakukan kegiatan yang menyenangkan atau rekreasi.
202. Tidak diperkenankan atau kurang bebas dalam menggunakan waktu senggang yang tersedia untuk kegiatan yang disukai/diingini.
203. Mengalami masalah untuk mengikutikegiatan acara-acara gembira dan santai bersama kawan-kawan.
204. Tidak mempunyai kawan akrab untuk bersama-sama mengisi waktu senggang.
205. Mengalami masalah karena memikirkan atau membayangkan kesempatan waktu berlibur ditempat yang jauh, indah, tenang dan menyenangkan.
206. Mengalami masalah karena menjadi anak tunggal, anak sulung, anak bungsu, satu-satunya anak laki-laki atau satu-satunya anak perempuan.
207. Hubungan kurang harmonis dengan kakak atau adik atau dengan anggota keluarga lainnya.
208. Orang tua atau keluarga anggota lainnya terlalu berkuasa atau kurang memberi kebebasan.
209. Dicurigai oleh orang tua atau anggota keluarga lain.
210. Bermasalah karena dirumah orang tua tinggal orang atau anggota keluarga lain.
211. Mengalami masalah karena membanding-bandingkan kondisi keuangan sendiri dengan kondisi keuangan orang lain.
212. Kesulitan dalam mendapatkan penghasilan sendiri sambil sekolah.
213. Mempertanyakan kemungkinan memperoleh beasiswa atau dana bantuan belajar lainnya.
214. Orang lain menganggap pelit dan/atau tidak mau membantu kawan yang sedang mengalami kesulitan keuangan.
215. Terpaksa berbagi pengeluaran keuangan dengan kakak atau adik atau anggota keluarga lain yang sama-sama membutuhkan biaya.
216. Tidak mengetahui cara menggunakan waktu senggang yang ada.
217. Kekurangan sarana, seperti biaya, kendaraan, televisi, buku-buku bacaan, dan lain-lain untuk memanfaatkan waktu senggang.
218. Mengalami masalah karena cara melaksanakan kegiatan atau acara yang kurang tepat dalam menggunakan waktu senggang.
219. Mengalami masalah dalam menggunakan waktu senggang karena tidak memiliki keterampilan tertentu, seperti bermain musik, olah raga, menari dan sebagainya.
220. Kurang berminat atau tidak ada hal yang menarik dalam memanfaatkan waktu senggang yang tersedia.
221. Tinggal di lingkungan keluarga atau tetangga yang kurang menyenangkan.
222. Tidak sependapat dengan orang tua atau anggota keluarga tentang sesuatu yang direncanakan.
223. Orang tua kurang senang kawan-kawan datang ke rumah.
224. Mengalami masalah karena rindu dan ingin bertemu dengan orang tua dan/atau anggota keluarga lainnya.
225. Tidak betah dan ingin meninggalkan rumah karena keadaannya sangat tidak menyenangkan.

ANALISIS TRANSAKSIONAL

ANALISIS TRANSAKSIONAL


Latar Belakang

Analisis Transaksional (AT) adalah salah satu pendekatan Psychotherapy yang menekankan pada hubungan interaksional. AT dapat dipergunakan untuk terapi individual, tetapi terutama untuk pendekatan kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan sendiri oleh klien, juga dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Maka proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru, guna kemajuan hidupnya sendiri.

AT dikembangkan oleh Eric Berne tahun 1960 yang ditulisnya dalam buku Games People Play. Berne adalah seorang ahli ilmu jiwa terkenal dari kelompok Humanisme. Pendekatan analisis transaksional ini berlandaskan teori kepribadian yang berkenaan dengan analisis struktural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu : orang tua, orang dewasa, dan anak. Pada dasarnya teori analisis transaksional berasumsi bahwa orang-orang bisa belajar mempercayai dirinya sendiri, berpikir, dan memutusakan untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan- perasaannya.
Dalam mengembangkan pendekatan ini Eric Berne menggunakan berbagai bentuk permainan antara orang tua, orang dewasa dan anak.

Wednesday, January 19, 2011

psikologi dan kesehatan

Abad ini, peningkatan harapan hidup di Negara-negara industri, pengeseran dari penyakit menular sebagai penyebab kematian , seperti pneumonia dan influenza, tuberculosis dan diphtera.Sekitar 40% dari kematian disebabkan oleh 11 besar penyakit menular di 1900, 6% dari kematian yang disebabkan oleh penyakit menular di 1973 (McKinlay & McKinlay, 1981). Sekarang pembunuh terbesar adalah penyakit non menular yaitu kardiovaskuler penyakit hat,i stroke dan kanker. Di antara penyakit menular, sindrom kekebalan tubuh (AIDS) menjadi penyebab kematian yang terbesar.
Penyakit-penyakit ini sebagian disebabkan oleh perilaku yang merugikan kesehatan seperti merokok, minum alkohol terlalu banyak, makan berlebihan, kebiasaan duduk yang terlalu lama atau berkaitan dengan perilaku seksual yang beresiko (sebagai tambahan, lihat Stroebe & Stroebe, 1995). Faktor kebiasaan hidup sbg faktor penyebab kesakitan dan kematian di negara-negara industri di akhir 1970.
Dengan perkembangan psikologi kesehatan sebagai cabang ilmu psokologi. Penggabungan pengetahuan psikologi sehubungan dengan pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan pengobatan penyakit. Karena kebiasaan hidup sering dipengaruhi oleh kepercayaan kesehatan dan sikap kesehatan
Psikologi kesehatan menawarkan kesempatan yang menantang untuk psikolog sosial, yang mempelajari sikap dan perubahan sikap seseorang . Psikolog sosial dapat membantu merancang kampanye media masa yang efektif untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang bahaya yang terkandung dalam rokok, minum beralkohol, kurang olahraga, atau sikap hubungan seksual yang beresiko, dan mengajak mereka agar mengubah gaya hidupmya.



Faktor-faktor Perilaku Sehat
Langkah pertama dari usaha perubahan sikap adalah identifikasi syarat-syarat dari perilaku target.
Memfokuskan pada dua jenis yang telah berkembang untuk memprediksi perilaku sehat : model keyakinan kesehatan dan teori pendorong perlindungan.
Model Kepercayaan Kesehatan
Model keyakinan kesehatan dikembangkan di tahun 1950 oleh psikolog sosial di US Public Health Service dalam sebuah usaha untuk memahami mengapa orang gagal memprotek penyakit atau melakukan tes dari deteksi awal penyakit yang tidak sesuai dengan pemberantasan gejala awal (Janz & Becker, 1984). Model ini termasuk dalam model harapan nilai keluarga (Bab 2 : Jonas: 1993).
Model-model ini membuat asumsi bahwa keputusan berbeda didasarkan atas dua tipe pengamatan :
(1) Perkiraan individu dari kemungkinan bahwa seseorang yang diberi aksi akan memperoleh hasil tertentu
(2) nilai diletakkan pada hasil oleh individu. Model ini beranggapan bahwa individu akan memilih dari alternatif-alternatif arah yang beragam dari aksi bahwa alternatif akan mengarahkan ke dampak positif atau menghindari dampak negatif. Seperti teori aksi beralasan (Fishbein & Ajzen, 1975).
Model kepercayaan kesehatan berusaha untuk menjelaskan sikap yang berada di bawah kontrol kesadaran individu. Tapi tak seperti dengan teori, ini beranggapan bahwa sebuah hubungan langsung antara kepercayaan dan sikap daripada sebuah hubungan yang didasari pamrih.



Model
Berdasar pada model kepercayaan kesehatan (Gambar 5.1) adalah anggapan bahwa perilaku sehat ditentukan oleh 4 kepercayaan kesehatan di bawah ini :
(1) Kelemahan yang terasa : dampak dari sakit / penyakit.
(2) Kekerasan yang terasa : kekerasan fisik seperti luka atau konsekuensi sosial (seperti mempengaruhi orang lain, ketidakmampuan untuk bekerja) dari menderita penyakit
(3) Keuntungan yang terasa : tingkatan perlindungan perilaku tertentu akan dilihat sebagai penurunan kelemahan atau kekerasan yang terasa dari resiko kesehatan tertentu,
(4) Hambatan yang terasa : aspek negatif yang terasa dari perilaku sehat tertentu : Keuangan, usaha, dampak dari pengobatan yang mungkin menurunkan keinginan individu untuk menggunakan perilaku. Selanjutnya beberapa isyarat mengasumsikan menjadi penting untuk memicu perilaku (Rosenstock, 1974). “Isyarat untuk aksi” ini bisa menjadi internal (seperti gejala atau eksternal seperti kampanye media masa).












Faktor – faktor kelemahan yang terasa dan kekerasan yang terasa menentukan kepercayaan di dalam perilaku kesehatan personal, menghasilkan hal yang umum, sebelum energi untuk aksi diarahkan ke hasil. Individu yang merasa terancam akan mencari jalan untuk mengurangi ancaman. Analisa untung rugi melibatkan “keuntungan yang terasa” dan “hambatan yang terasa” menentukan kepercayaan dalam keefektifan dari sebuah pengukuran kesehatan untuk mengurangi resiko dan mengarahkan pilihan pada perilaku tertentu. Contoh, siswa yang aktif secara seksual berhubungan seks yang tak terlindungi dengan berbagai macam pasangan, mungkin merasa bahwa dia akan beresiko mendapat transmisi penyakit seksual. Secara tidak langsung, menderita herpes atau AIDS akan mendapat beberapa konsekuensi.
Siswa mungkin berpikir berbagai macam alternaitf aksi untuk mengurangi resiko, seperti hubungan seks hanya dengan pasangan tetap, selalu menggunakan kondom. Masing-masing dari aksi ini akan menurunkan resiko, tapi akan ada biayanya. Contoh, penggunaan kondom akan mengurangi resiko infeksi tapi juga kenikmatan dari seks. Siswa mungkin akan terus mempertimbangkan alternatif-alternatif ini tanpa mengambil aksi, sampai ada isyarat untuk aksi, seperti sebuah laporan dalam makalah bahwa persebaran AIDS meningkat atau penularan penyakit seksual meningkat.
Model Evaluasi Empiris
Teori motivasi perlindungan telah diaplikasikan ke berbagai perilaku yang berhubungan dengan kesehatan seperti pengkonsumsian alkohol, merokok, pemeriksaan payudara sendiri dan gerak badan. Selama ini Hasil-hasilnya mampu mendukung motivasi perlindungan sebagai tujuan sebagai hal yang mempunya hubungan positif pada besarnya model seperti kekerasan, kelemahan, keefektifan tenaga yang dianjurkan, dan untuk merasakan kemanjurannya. Hasil-hasil ini yang juga sangat mendukung kesehatan, telah ditemukan secara khusus dalam percobaan penelitian.



Maksud Perencanaan Atas Intervensi
Tujuan dari model-model ini untuk suatu pencampurtanganan yang dituju untuk mempengaruhi perilaku kesehatan, dapat digambarkan melalui pembelajaran yang telah ditemukan yang juga mengaplikasikan mode kesehatan pada penggunaan kondom di kalangan remaja.
Pembelajaran ini diikuti oleh 300 remaja yang aktif secara seksual, yang telah menggunakan perilaku secara disengaja sebagai wakil dari tingkah laku dan mengamati hubungan dari empat dimensi model untuk membawa dan menggunakan kondom, telah ditemukan infeksi HIV, merasa mudah terserang HIV, dapat merasakan keuntungan menggunakan kondom. Lebih-lebih, rasa ingin menghilangkan kebiasaan menggunakan kondom (ingin mengurangi rasa senang menggunakan kondom, kekakuan pada saat menggunakannya, dan respon teman untuk menggunakan kondom) yang pada hakekatnya ditemukan untuk dapat membawa dan menggunakan kondom. Penemuan-penemuan ini menyarankan kampanye media masa yang fokus pada penerimaan masyarakat atas kondom, untuk lebih efektif daripada strategi tradisional yang menekankan pada infeksi dan sebabnya.
Teori motivasi perlindungan juga mempunyai maksud penting dalam intervensi yang selama ini masih belum dipelajari dengan cukup. Seperti contoh, jika keyakinan diri pada suatu target tertentu (penggunaan kondom, gerak badan atau latihan telah direkomendasikan sebagai populasi tertinggi bagi mereka yang kampanyenya sudah dikembangkan, ketetapan informasi yang menambah kerentanan atau kekuatan seharusnya juga menambah motivasi perlindungan. Ketika keyakinan atau pertahanan diri rendah, itulah saat saat kebanyakan orang merasa tidak mampu menggunakan tenaga yang telah ada (diet, berhenti merokok), kerentanan atau kelemahan yang meningkat tidak harus meyakinkan minat penerima untuk menggunakan kekuatan. Dalam hal ini, informasi dimaksudkan pada perasaan penerima yang meningkat terhadap keyakinan diri untuk lebih efektif daripada pesan yang menekankan kelemahan. Modifikasi Perilaku Yang Mengganggu Kesehatan
Bagaimana kita bisa mempengaruhi masyarakat untuk mengabaikan pola perilaku yang mengganggu kesehatan dan menerapkan gaya hidup sehat? Pada dasarnya ada dua tahap pada modifikasi perilaku kesehatan. Tahap pertama meliputi bentuk dari tujuan untuk berubah; suatu individu harus diinformasikan tentang perilaku kesehatan dan harus diyakinkan untuk berubah. Ini bisa secara efektif dicapai dengan pembicaraan yang sedikit merayu. Tetapi, ada kalanya bujukan saja tidak cukup untuk mempengaruhi seseorang untuk berubah selamanya dalam pola-pola perilaku kesehatannya. Bahkan jika masyarakat menerima rekomendasi kesehatan pun, terkadang mereka mengalami kesulitan dalam bertindak pada jangka waktu tertentu. Tidak hanya karena pentingnya memotivasi masyarakat untuk berubah, mereka juga harus diajari bagaimana cara untuk berubah dan bagaimana cara mempertahankan perubahan.

Bagian selanjutnya akan membahas strategi modifikasi perilaku berdasarkan pada (1) rayuan atau bujukan dan (2) perubahan yang terencana dalam struktur perangsang (contoh; peningkatan perpajakan). Meskipun strategi-strategi ini selalu cukup untuk membujuk masyarakat untuk berubah, campur tangan klinik mungkin saja diperlukan dengan perilaku seperti penyalahgunaan bahan kimia atau makan berlebihan. Bagaimana pun, pembahasan tentang program-program terapi telah melebihi jangkauan dari pembahasan ini (lihat Stroebe & Stroebe, 1995).
Persuasi
Promosi kesehatan dan pendidikan sangat mengandalkan strategi kepercayaan atau rayuan. Dalam satu dekade baru-baru ini, penelitian pada rayuan telah didominasi oleh teori-teori kognitif dalam perubahan sikap. Teori-teori ini menggambarkan bagaimana sikap atau tingkah seseorang berubah dalam merespon pesan-pesan lisan yang komplek yang secara khusus terdiri dari posisi keseluruhan yang mendukung (contoh; sebuah rekomendasi kesehatan), dan satu atau lebih pendapat-pendapat yang dibentuk untuk mendukung posisi tersebut. Teori-teori kognitif rayuan yang terdahulu seperti model perespon kognitif yang menekankan pentingnya proses sistematis penerima pesan pada kandungan suatu pendapat. Mereka berasumsi bahwa jika suatu individu tidak mampu atau tidak termotivasi untuk mengurus kandungan dari suatu komunikasi, sedikit perubahan sikap akan terjadi. Malahan, teori-teori dual-proses telah berasumsi di bawah keadaan tertentu yang ditetapkan oleh model-model ini, masyarakat akan mengambil tindakan-tindakan paling mendasar daripada proses sistematik dari pendapat-pendapat yang terkandung dalam pesan. Teori-teori dual-proses ini dapat secara luas dipertimbangkan dari respon model kognitif. Meskipun penelitian sederhana pada teori-teori ini telah diadakan dalam konteks pendidikan kesehatan, kami akan mencoba mendemonstrasikan pentingnya mereka untuk wilayah kesehatan.
Model Respon Kognitif: Sebuah Teori Proses Sistematik
Model respon kognitif Greenwald dan beberapa universitas (misalnya Greenwald, 1968; Petty, Ostrom & Brock, 1981) memperoleh namanya dari asumsi utama dari teori ini, di mana ini bukan pendapat-pendapat, tetapi pemikiran-pemikiran dan respon-respon kognitif penerima bisa dihasilkan ketika mendengarkan percakapan yang menengahi rayuan. Greenwald dan beberapa universitas menyarankan ketika masyarakat menerima percakapan yang membujuk, mereka menghubungkan informasi yang terkandung di dalam penjelasannya dengan pengetahuan yang mereka punya. Bahkan mereka juga mempertimbangkan materi baru yang tidak terkandung di dalam percakapan. Jika ada hal-hal baru, pemikiran pembangkit diri setuju dengan posisi yang diambil dari percakapan tersebut, perubahan sikap akan memberi hasil. Jika mereka menyangkal pesannya atau mendukung posisinya daripada orang yang dianjurkan, percakapan tersebut tidak akan dipercaya dan mungkin akan menimbulkan efek boomerang (perilaku berubah pada arah yang berlawanan dengan yang dianjurkan). Meskipun sejumlah faktor-faktor mempengaruhi apakah penerima-penerima pesan merespon dengan pemikiran baik atau sebaliknya, kualitas penjelasan-penjelasan yang terkandung dalam percakapan yang meyakinkan (contoh: percakapan yang beralasan baik, kekurangan dari suatu kesalahan logika, konsisten dengan pengetahuan yang tersedia) telah dibuktikan sebagai faktor yang dapat diandalkan dari suatu valensi (seperti positif atau negatif) dari pemikiran-pemikiran yang relevan yang ditimbulkan oleh penerima.
Pengaruh dari suatu komunikasi atau percakapan tidak hanya bergantung pada valensi (contoh: baik vs tidak baik) dari respon-respon ini, tetapi juga bergantung pada luasnya pengetahuan yang digunakan penerima dalam menggunakan pemikiran yang relevan. Berdasarkan model respon kognitif, tingkatan yang digunakan oleh individual dalam pemikiran pesan yang relevan bergantung pada motivasi dan kemampuan mereka dalam berpikir tentang penjelasan yang terkandung dalam sebuah pesan. Jika masyarakat sangat termotivasi untuk berpikir tentang pesan dan jika mereka mampu memproses suatu penjelasan, pemikiran pesan yang relevan akan dihasilkan daripada jika suatu individu tidak termotivasi atau tidak bisa melakukannya. Sebagai contoh, anggap saja ada suatu program di radio dimana orang-orang yang melakukan diet mendiskusikan resiko kesehatan yang akan didapat dengan menjadi orang yang berlebihan berat badan dan menyarankan beberapa strategi untuk mengurangi berat badan. Dikarenakan para pendengar yang mempunyai masalah berat badan dirasa termotivasi untuk memikirkan penjelasan-penjelasan ini daripada mereka yang mempertahankan kelangsingan tubuh tetapi tidak membatasi makanan, siapa yang terlebih dulu mendengarkan, mereka harus merespon dengan pemikiran yang lebih relevan daripada mereka yang belum mendengarkan. Dengan kata lain, jika pendengar mendengarkan radio di tempat privasi mereka dengan radio berkualitas tinggi, mereka seharusnya lebih bisa memproses pesannya daripada mereka yang mendengarkan radio di mobil mereka dengan stasiun yang berisik atau penumpang-penumpang laki-laki yang sedang berbincang-bincang.
Menurut model respon kognitif, faktor-faktor yang meningkatkan perluasan suatu proses seharusnya mempertinggi pengaruh kualitas penjelasan pada perubahan sikap, mengingat faktor-faktor yang mengurangi perluasan suatu proses yang seharusnya mengurangi pengaruh kualitas penjelasan. Jika suatu penjelasan yang berkualitas tinggi terkandung di dalam suatu pesan dan menghasilkan pemikiran yang baik, maka penerima-penerima yang lain berpikir tentang pesan ini, pemikiran yang lebih baik yang seharusnya mereka munculkan, dan selebihnya mereka harus diyakinkan. Di samping itu, saat penerima berpikir tentang penjelasan yang berkualitas rendah yang mengakibatkan pemikiran negatif, mereka juga perlu diyakinkan. Model memprediksi interaksi antara faktor-faktor pemikiran valensi (kualitas penjelasan) dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses motivasi atau kemampuan.

Model-model Dual Proses: Perluasan Dari Pendekatan Respon Kognitif
Model-model dual proses menambahkan proses kepercayaan yang kedua yang tidak mengandalkan perkiraan penjelasan yang terkandung di dalam suatu pesan. Teori-teori dual proses menganggap bahwa motivasi atau kemampuan untuk memproses penjelasan telah berkurang, di sekeliling area percakapan secara relatif menjadi faktor yang sangat penting dalam meyakinkan seseorang. Kita akan membahas dua model dual-proses: model heuristik sistematik Chaiken dan beberapa universitas dan kemungkinan perluasan model dari Petty, Cacioppo dan beberapa universitas (contoh Petty & Cacioppo, 1986a, b; Petty, Priester & Wegener, 1994).
Kedua model tersebut menganggap bahwa hasil dari percakapan persuasif dapat ditengahi oleh dua model dari proses informasi, yang membedakan pada perluasan yang mereka usahakan. Model heuristik sistematik membedakan proses sistematik dan heuristik. Mengingat konsep dari proses sistematik dan rute sentral, keduanya sama, menunjuk pada pemikiran pesan yang relevan yang membentuk dasar dari model respon kognitif, konsep dari proses heuristik dan rute peripheral berbeda di aspek-aspek yang penting. Proses heuristik mengandalkan aturan keputusan yang sederhana atau heurisik untuk menilai kebenaran suatu penjelasan atau argumen. Contohnya, sebagai konsekuensi atas permohonan untuk aturan yang sederhana yang dinyatakan oleh para ahli yang dapat dipercaya, penerima pesan mungkin saja sependapat dengan para ahli daripada mereka yang tidak tahu menahu tentang komunikasi yang baik. Peringatan kesehatan diberitahukan oleh ahli-ahli kesehatan yang lebih diterima dibandingkan dengan peringatan kesehatan yang diberikan oleh orang-orang yang tak berpengalaman. konsep rute peripheral lebih luas daripada heuristik proses dan mengandung semua bentuk pengaruh yang tidak mengandalkan penjelasan, seperti klasik dan pengaruh instrumen. Kedua model menganggap bahwa suatu individu akan menggunakan cara proses yang penuh usaha (contoh: proses heuristik atau rute peripheral) jika mereka tidak bisa atau tidak termotivasi untuk menggunakan pemikiran pesan yang relevan.

Model-model Evaluasi Empiris
Kemampuan untuk memproses dan perubahan sikap. Banyak penelitian kususnya pada pengaruh kemampuan prosesnya dalam proses sistematik telah fokus pada dua faktor: kebingungan dan pengulangan pesan. Dengan memanipulasi faktor-faktor ini bersamaan dengan kualitas penjelasan, beberapa penelitian mampu menaksir interaksi yang terprediksi antara arah atau kebaikan respon kognitif pada pesan (ditentukan oleh kualitas penjelasan) dan perluasan atau kuantitas respon kognitif (ditentukan oleh kebingungan atau pengulangan).
Ilustrasi yang baik pada strategi ini dapat ditemui dalam riset kebingungan. Kebingungan adalah faktor yang penting dalam penelitian persuasi, karena di kehidupan nyata, tidak seperti di laboratorium, suatu individu sering kali terganggu ketika mendengarkan percakapan yang persuasif. Jadi, ketika seorang ayah yang bermasalah dengan hatinya mencoba untuk mendengarkan program televisi yang merekomendasikan diet berkolesterol rendah, anak laki-lakinya mungkin saja memulai percakapan dengan ibunya atau menanyakan kepada ayahnya untuk menaikan uang sakunya. Penelitian awal pada masalah kebingungan telah menghasilkan hasil yang bertentangan, melalui beberapa pembelajaran yang menemukan pertambahan perubahan sikap dengan menambahkan kebingungan (Festinger & Maccoby, 1964), sedangkan yang lain meneliti akibat yang berlawanan (contoh Haaland & Vankatesan, 1968). Karena dari sudut pandang respon kognitif, kebingungan mengakibatkan berkurangnya kemampuan penerima untuk merespon suatu pesan, padahal respon dari penerima sangatlah diharapakan, variabilitas memberi variabilitas dari kualitas pesan diantara beberapa pembelajaran. Jadi dengan pesan yang berkualitas tinggi, mungkin sekali untuk menimbulkan pemikiran-pemikiran yang positif, kebingungan diharapkan mampu mengurangi perubahan sikap, kebingungan juga diharapakan bisa bertambah walaupun dalam pesan yang berkualitas rendah, seperti halnya ketika menghasilkan pemikiran-pemikiran yang tidak baik.
Daerah Perilaku Focal
Perjanjian Tinggi Kualitas pesan tinggi


Perjanjian Rendah Kualitas pesan rendah

Angka kilatan per menit
Gambar 5.3: Rata-rata nilai perilaku dalam hubungan dengan pesan dan tingkat distriksi. (Petty, Wells, & Brock, 1976, percobaan 2)

Perkiraan-perkiraan ini telah diuji di dua percobaan yang diadakan oleh Petty, Wells dan Brock (1976) yang memanipulasi keduanya baik kualitas penjelasan atau argumen dan kebingungan atau gangguan. Konsisten dengan beberapa perkiraan, bertambahnya kebingungan mengurangi kepercayaan pada komunikasi atau percakapan persuasif yang berkualitas tinggi tetapi dapat mempertinggi persuasi pada penjelasan yang berkualitas rendah (gambar 5.3). penyokong tambahan untuk asumsi yang baik menambah dan mengurangi persuasi yang disebabkan oleh gangguan atau kekacauan yang datang dari pikiran yang selalu mendaftar tugas, yang mengizinkan para peneliti untuk mengakses perluasan dan valensi dari respon-respon kognitif yang ditimbulkan oleh suatu percakapan. Kebingungan atau kekacauan muncul untuk mengurangi pemikiran-pemikiran negatif penerima dalam merespon penjelasan yang berkualitas rendah dan mengurangi jumlah pemikiran yang baik dalam merespon versi pesan berkualitas tinggi.
Meskipun akibat dari kebingungan adalah untuk mengurangi pengolahan kemampuan, pengulangan pada pesan mempunyai pengaruh yang bertentangan. Pengulangan pada pesan memberi waktu suatu individu untuk memikirkan pesan tersebut. Pengulangan seharusnya berakibat pada penambahan perubahan sikap dalam berkomunikasi yang terdiri dari penjelasan yang berkualitas tinggi, dan bukan pengurangan perubahan untuk komunikasi yang berkualitas rendah. Meskipun ada penyokong empiris untuk hipotesis ini, ada juga tanda bahwa pengaruh positif dari suatu pengulangan penjelasan yang baik sangatlah dibatasi oleh pengaruh kebosanan. Terlalu sering pengulangan mengakibatkan penolakan meskipun dalam penjelasan yang baik atau berkualitas tinggi (Cacioppo & Petty, 1979, 1985).
Motivasi Untuk Memproses dan Perubahan Sikap
Motivasi untuk berfikir tentang pendapat-pendapat yang terdapat dalam pesan telah sering dipelajari dengan manipulasi keterlibatan individu; (Eagly dan Chaiken, 1993). Dalam konteks dari komunikasi kesehatan, keterlibatan individu di dalam sebuah permasalahan perilaku yang akan dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai kekebalan pribadi. Kita akan membahas hal ini dari harapan para pengemudi akan lebih termotivasi untuk mengolah informasi keselamatan berkendara daripada non pengemudi, dan individu yang tahu bahwa mereka memiliki kolesterol tinggi akan lebih tertarik pada informasi tentang diet dan penyakit jantung daripada orang-orang yang tidak memiliki alasan untuk khawatir tentang tingkat kolesterol mereka.
Sebuah studi klasik menilai dampak dari keterlibatan individu pada pemprosesan pesan yang dikemukakan oleh Petty, Cacioppo dan Goldman (1981). Pada penelitian ini, sumber yang dapat dipercaya (credibility) telah dimanipulasi di dalam pertimbangan untuk kualitas pendapat yang berguna untuk menguji prediksi proses ganda yang merupakan dampak isyarat sekeliling yang meningkat sesuai dengan penurunan dampak kualitas pendapat. Sumber credibility dari peripheral ceu yang memberikan kesempatan pada individu – individu untuk membentuk sebuah opini pada sebuah validitas posisi yang direkomendasikan pada sebuah pesan tanpa harus meneliti pendapat dengan serius. Berdasarkan respon kognitif dan model proses ganda akan memiliki harapan lebih baik yang mempengaruhi subjek untuk menjadi lebih berpengaruh oleh kualitas pendapat dari pada ketidakpedulian individu-individu. Dalam penambahan model proses ganda akan menganggap bahwa ketidakpedulian individu-individu seharusnya terpengaruh lebih kuat oleh sumber kredibilitas daripada keterlibatan subjek secara menyeluruh. Hasil didukung kuat oleh kedua prediksi ini.
Walaupun tidak dibahas secara tipikal didalam konteks teori ini, ketakutan juga berperan dalam proses manipulasi motivasi. Faktor takut yang sering digunakan di wilayah pendidikan kesehatan yang terdiri dari informasi yang membentuk sebuah ancaman kesehatan pribadi dan biasanya diikuti oleh beberapa rekomendasi yang jika diterima akan mengurangi atau menghindari bahaya (untuk melihat penelitian klasik lihat Leventhal, 1970). Dalam sebuah studi tipikal dari dampak faktor takut, para perokok dengan ancaman bahaya yang ringan akan dengan mudah terlihat pada infomasi faktual tentang bahaya merokok bagi kesehatan. Pada ancaman yang lebih tinggi, mereka akan menambahkan sebuah pertunjukan film tentang operasi paru-paru. Dari kedua kondisi tersebut, sebuah rekomendasi akan diberikan bahwa konsekuensi negatif bisa saja dihindari jika subjek berhenti merokok. Sebagian besar dari percobaan pada dampak faktor menemukan bahwa kepercayaan akan meningkat dengan tingkatan ancaman yang disertakan dalam komunikasi (lihat Boster dan Mongeou,1984; Sutton,1982). Efek ini akan mempertahankan tujuan tingkah laku sebaik tingkah laku yang sebenarnya, tetapi cenderung lebih kuat untuk tujuan.
Sebagian besar penelitian dari faktor takut diawali sebelum penerapan teori proses ganda, jadi teori ini telah telah jarang digunakan pada permasalahan ini. Dari sebuah perspektif proses ganda, seseorang akan memprediksikan kesejukan itu untuk ancaman menengah seharusnya meningkatkan motivasi seseorang yang merasakan dirinya menjadi terlihat gampang dilukai, menjadi dilihat lebih cermat dari sebuah pesan, dan hasil itu diketahui dalam proses yang lebih sistematis. Hal ini seharusnya meningkatkan dampak keyakinan dari komunikasi secara terus menerus dari pendapat yang berkualitas tinggi tetapi menurunkan keyakinan itu bagi pendapat yang memiliki kualitas rendah. Dengan tingkat rasa takut yang tinggi, ketegangan emosi akan memungkinkan terjadinya gangguan kapasitas seseorang untuk memproses secara sistematis dan mereka seharusnya menjadi lebih percaya pada isyarat sekeliling. Dukungan menengah prediksi ini datang dari penelitian oleh Jepson dan Chaiken (1990) dan Gleicher dan Petty (1992).

Daerah Perilaku Focal
Andal

Sumber ahli

Sumber tidak ahli
Tidak andal


Andal
Argumen-argumen yang kuat


Tidak andal Argumen-argumen yang lemah


Gambar 5.4: Keterlibatan dampak interaksi, sumber yang ahli dan kualitas argumen pada perilaku-perilaku komunikasi akhir (Petty, Cacioppo, & Goldman, 1981).

Ketahanan Perubahan Sikap
Perubahan sikap diperoleh melalui metode yang berbeda-beda dari kepercayaan seharusnya berbeda dalam ketahanannya. Permasalahan tingkat tinggi yang berhubungan dengan aktivitas kognitif membutuhkan tindkan secara berkala dari sebuah tingkah laku dan terhubung dengan struktur pengetahuan (Petty dkk, 1994). Aktivitas ini seharusnya meningkatkan jumlah jaringan antara bentuk kepercayaan dari sebuah tingkah laku yang berbeda dan membuat skema dari perilaku lebih konsisten secara internal dan hal ini membuat lebih bisa bertahan dan lebih kebal terhadap pendapat sanggahan.dalam mendukung alasan tersebut, sebuah penelitian mendemosntrasikan bahwa tingkah laku karakter di mediasi oleh proses yang sistematis (seperti rute utama) lebih bisa bertahan dari pada perubahan yang di barengi dengan gagasan yang memiliki sedikit relevansi terhadap permasalahan (misalnya Haugty dan Patty, 1992; Petty dan Cacioppo,1986 a, b).

Pengolahan objektif melawan Prasangka: Sebuah masalah yang tak terpecahkan.
Sejauh ini kita telah menggambarkan informasi proses sikap dasar/pokok berubah menjadi sebuah obyek relatif dan aktivitas non-bias. Model kemungkinan elaborasi maupun versi asli dari model sistem heuristik mendalilkan sebuah motif tunggal: Orang-orang termotivasi untuk memegang sikap yang baik/benar/tepat. Motivasi yang tepat ini menentukan tujuan proses yaitu menentukan validitas dari pesan-pesan persuasif. Meskipun Petty, Cacciopo dkk. sebelumnya juga telah mendiskusikan ide dari pengolahan non-bias dalam konteks model kemungkinan elaborasi, di sini kita akan fokus pada pekerjaan Chaiken dkk.(1989) yang telah berhasil mengelola secara sistematis gagasan dari pengolahan bias ke dalam model dual-proses revisi mereka.
Satu kelas proses informasi cenderung bias telah ditandai sebagai motivasi pertahanan oleh Chaiken dkk. (1989). Tujuan pengolahan motivasi pertahanan adalah untuk mengkonfirmasikan validitas plilihan posisi sikap. Konsepnya sangat penting dalam konteks komunikasi kesehatan. Karena motivasi pertahanan cenderung dibangkitkan oleh komunikasi-komunikasi sehat yang sangat mengancam. Dalam penerjemahannya ketika sang penerima merasa tidak mampu atau tidak berniat untuk meninggalkan rangkaian perilaku yang sangat nyaman. Pertahanan termotivasi oleh perseptor yang diasumsikan menggunakan heuristik yang sama seperti seseorang yang termotivasi secara akurasi, tetapi menggunakan mereka secara selektif agar mendukung posisi perilaku yang diinginkan. Proses sistem motivasi pertahanan adalah kemiripan selektif, pemberian banyak perhatian pada informasi tentang konsistensi perilaku. Proses ketiga tidak didiskusikan oleh Chaiken dkk.(1989) adalah kurangnya motivasi penerima untuk menyimak dengan teliti pesan-pesannya. Hingga, para perokok yang terlihat membedah pada hasil penelitian bahaya merokok yang dilakukan akhir-akhir ini, mungkin tidak berniat untuk memikirkan pesan-pesan ini, khususnya jika mereka telah berulang kali gagal berupaya untuk berhenti merokok.
Meskipun pengolahan bias belum menerima perhatian kecil di penelitian pada teori-teori dual-proses, dalil pengolahan motivasi-pertahanan sejalur dengan salah satu teori klasik dari psikologi sosial, yang dinamakan teori Disonansi (Festinger, 1957,1964). Menurut teori disonansi, individu-individu yang telah membuat keputusan berada dalam daerah ketegangan permusuhan (disebut “disonansi”) dan termotivasi untuk menguranginya. Disonansi terjadi kapanpun saat seseorang telah membuat keputusan, karena aspek-apek negatif alternatif yang dipilih tidak seimbang dengan keadaan ketika sedang memilih hal tersebut (sebagai contoh kognisi disonansi). Semakin besar jumlah dan pentingnya kognisi yang disonansi, semakin besar daerah permusuhan dari disonansi dan dengan demikian mengurangi tekanan untuk itu. Salah satu cara untuk mengurangi disonansi kognitif keputusan berikut adalah mencari informasi secara selektif untuk keputusan-konsonan dan untuk menghindari kontradiktif informasi (untuk tinjauan lihat Frey, 1987).
Jadi, meskipun seorang perokok seharusnya lebih termotivasi daripada non-perokok untuk memproses informasi tentang resiko dari merokok, berdasarkan teori-teori dual-proses versi terbaru, teori disonansi akan terprediksi bahwa para perokok akan berniat menghindari seperti informasi, karena hal itu akan meningkatkan dissonansi mereka. Jika penyingkapan pada suatu informasi tidak dapat dihindari, teori disonansi akan terprediksi, para perokok akan terikat dalam tipe pengolahan motivasi pertahanan yang disarankan oleh model sistem-heuristik yang direvisi.
Implikasi untuk Perencanaan Intervensi
Menurut perspektif dual proses, masalah utama dalam pembentukan kampanye persuasi adalah apakah target audien (penonton/pendengar) mempunyai kapasitas untuk mengikat pengolahan secara terperinci argumen-argumen yang digunakan di dalam komunikasi dan apakah mereka adalah para penerima komunikasi, atau dapat termotivasi untuk mengikat pengolahan yang sistematis. Hanya jika orang dapat diasumsikan untuk mempunyai keduanya yaitu kemampuan dan motivasi untuk memahami. Meneliti dan mengevaluasi argumen-argumen terkandung dalam sebuah komunikasi, apakah hal ini akan terlihat berharga saat mengeluarkan usaha pada pengembangan pemikiran, argumentasi yang terperinci. Pengembangan seperti sebuah argumentasi seharusnya berdasarkan pada analisis yang hati-hati dari motif-motif dasar suatu rangkaian tingkah laku yang sehat.
Jika orang tidak mampu atau tidak termotivasi untuk terlibat pengolahan sistematis, orang dapat mengandalkan mekanisme yang tidak tergantung pada argumentasi untuk efektivitas mereka. Orang dapat menggunakan pengkondisian klasik, pengolahan heuristik, atau mekanisme perangkat lain untuk mempengaruhi penonton. Tidak ada yang kebetulan bahwa kebanyakan dari iklan-iklan terkenal untuk rokok-rokok, parfum-parfum atau kacamata sangat bergantung pada rute perifer untuk persuasi. Bagaimana pun juga, keburukan dari hal ini adalah bahwa efeknya cenderung kurang bertahan. Untuk komunikasi yang paling sehat, perbaikan jangka panjang dari perubahan tata sikap adalah hal yang terpenting. Bagaimana pun juga hal ini akan sangat berharga mengembangkan strategi yang ditujukan pada peningkatan pengolahan motivasi atau kemampuan. Pada kasus minim motivasi, orang dapat menggunakana model keyakinan sehat atau teori motivasi perlindungan untuk berusaha mencari tahu mengapa individu tidak termotivasi untuk berpikir tentang masalah kesehatan. Informasi ini dapat digunakan dalam bentuk stategi untuk meningkatkan motivasi. Dalam kasus defisit pengolahan kemampuan, sebagai contoh karena rendahnya tingkatan pendidikan atau permasalahan bahasa pada kasus bahasa asing minoritas, pesan sebaiknya harus di tata ulang dengan cara lain yang dapat dimengerti oleh grup minoritas tersebut.
Dibalik Persuasi : Pengubahan Struktur Insentif
Kesulitan utama dalam mempengaruhi orang meninggalkan kebiasaan yang tidak sehat seperti merokok atau minum terlalu banyak alkohol adalah mereka melibatkan diri untuk menolak kecanduan hanya agar dapat memenangkan penghargaan atau untuk menghindari hukuman terburuk dalam waktu yang ditentukan. Salah satu cara untuk menghindari masalah ini adalah untuk meningkatkan pungutan terhadap perilaku yang diberikan dengan perpajakan atau sanksi legal. Dengan meningkatkan pajak pada tembakau dan minuman alkohol, pemerintah telah sukses dalam penghambatan perilaku yang tidak sehat seperti merokok, dan minum alkohol yang berlebihan (lihat Stroebe & Stroebe, 1995). Sebuah tinjauan dari studi ekonomi dilakukan pada beberapa negara menyimpulkan bahwa, semua yang lain tetap sama, kenaikan harga alkohol umumnya menyebabkan jatuhnya konsumsi alkohol dimana peningkatan pendapatan konsumen umumnya menyebabkan kenaikan konsumsi alkohol (Bruun dkk, 1975). Terdapat fakta serupa untuk rokok, meski hanya sedikit penelitian yang berakar dari isu ini (Walsh dan Gordon, 1986). Akhirnya, ketika kampanye bujukan gagal membujuk pengemudi menggunakan sabuk pengaman, hukum yang mrmbuat kewajiban penggunaan sabuk pengaman, menghasilkan perubahan perilaku penting dalam beberapa bulan (Fhaner dan Hane, 1979).
Manfaat strategi yang mempengaruhi perilaku melalui perubahan dalam struktur dorongan kelihatannya membatasi hak kecenderungan berubah dalam harga yang diberikan perilaku untuk mempengaruhi sikap secara pokok terhadap pembelian produk. Selanjutnya, meski kenaikan harga yang ditandai dari harga minuman beralkohol mungkin menyebabkan masyarakat membeli alkohol lebih sedikit, mereka mungkin meminumnya ketika mereka tua karena minumannya gratis. Bagaiamanapun juga, setidaknya ada 3 kondisi dibawah ini yang meyebabkan dorongan perubahan perilaku yang menyebabkan perubahan umum lebih banyak: 1. Ketika habitat stabil dan terus berlangsung stabil meski ketiadaan dorongan. 2. Dimana harapan menghargai konsekuensi perilaku yang diberikan menjadi tidak realistis. 3. Ketika dorongan penyebab perilaku yang diberikan menimbulkan ketidakcocokan.
Contohnya, dengan sabuk pengaman yang sepertinya membuat seseorang menggunakan sabuknya lalu hal tersebut menjadi kebiasaan, dorongan tidak lagi diperlukan untuk memelihara perilaku tersebut. Selanjutnya, setelah ditimbulkan melalui persetujuan legal untuk penggunaan sabuk pengaman, seseorang mungkin menyadari bahwa pengalaman ini kurang lebih menyenangkan daripada yang mereka antisipasi. Laporan yang memungkinkan mengenai penemuan Fhaner dan Hane (1979) menunjukkan bahwa pengenalan penggunaan sabuk pengaman di Swedia, membawa lebih banyak opini positif daripada yang menuntut. Bagaimana pun juga, mengacu pada peningkatan ketidakcocokan, perubahan sikap mungkin saja terjadi ketika seseorang yang menjadi penyebab, melalui persetujuan legal agar terikat pada perilaku ketidakcocokan sikap, mengalami konsekwensi negatif yang mereka antisipasi.
Menurut teori ketidakcocokan negatif, terikat pada perilaku ketidakcocokan sikap bisa menimbulkan ketidakcocokan kognitif, tingkat yang bertolak belakang dengan peningkatan dimana mendorong seseorang untuk menguranginya (Festinger, 1957). Sebagaimana yang kita sebutkan sebelumnya (hal 127), kapan pun seseorang memilih antara kursus alternatif, selalu ada beberapa informasi (kesadaran ketidakcocokan) yang akan meluruskan perbedaan pilihan. Intensitas ketidakcocokan (dan juga dorongan untuk menguranginya) tergantung pada proporsi telatif dari kesadaran kesesuaian dan ketidaksesuaian dalam sistem kognitif seseorang. Karena penghargaan diantisipasikan untuk (atau persetujuan yang dihindari) perilaku ketidakcocokan sikap menghubungkan kesadaran kesesuaian, teori memprediksi bahwa ketidaksesuaian bisa menjadi lebih besar ketika penghargaan diantisipasikan untuk perilaku ketidakcocokan sikap lebih kecil. Satu cara agar orang bisa mencoba mngurangi ketidaksesuainnya ialah dengan mengubah sikap dalam konsistensi langsung yang lebih besar dengan perlaku mereka. Dorongan untuk melakukannya harus lebih besar, lebih besar daripada ketidaksesuaian.
Meskipun prediksi ketidaksesuaian dari perubahan sikap yang lebih besar ketika tingkat penghargaan kecil ditawarkan untuk perilaku ketidaksesuaian sikap berbanding terbalik dengan intuisi dan kelihatannya berlawanan dengan prinsip teori pemulihan kekuatan, hubungan negatif antara jumlah penghargaan dan sikap ini telah didemonstrasikan dalam pembelajaran klasik oleh Festinger dan Carlsmith (1959). Dalam eksperimen ini, subjek yang menampilkan tugas mandul akan ditanyai dengan preteks (teks pendahuluan) agar memberitahu subjek selanjutnya bahwa tugasnya dangat menarik. Mereka ditawari 20 atau 1 dolar untuk berbohong. Ukuran ketergantungan diambil setelah kebohongan yang diberitahukan sesuai dengan tingkat nilai yang menarik dalam tugas. Senada dengan prediksi, subjek yang ditawari penghargaan kecil untuk berbohong terlihat lebih memiliki perilaku dan sopan santun daripada yang menerima penghargaan lebih besar. Meski penemuan ini berkali-kali diulang (Eagly dan Chaiken, 1993), penemuan berikutnya juga menyatakan sejumlah kondisi terbatas. Khususnya hubungan negatif antara besarnya penghargaan dan jumlah perubahan sikap yang terjadi hanya ketika subjek merasa bebas menolak terikat pada perilaku ketidakcocokan sikap dan ketika perilaku ini memiliki konsekwensi negatif untuk mereka atau orang lain.
Sebuah aplikasi tipuan dari teori ketidaksesuaian untuk pencegahan masalah AIDS melalui remaja dewasa yang aktif seksual telah dilaporkan secara berurutan oleh Stone, Aronson, Crain, Winslow dan Fried (1994). Pengarang-pengarang tersebut membuat sebagian subjek, yang telah ditanyai atau belum) untuk mengembangkan percakapan bujukan tentang AIDS dan seks yang lebih aman, yang digambarkan di depan video kamera, kesadaran atas kesalahan mereka di masa lalu tentang penggunaan kondom. Kesadaran dicapai dengan menanyai subjek untuk menggambarkan siklus kesalahan mereka di masa lalu mengenai penggunaan kondom. Di akhir pembelajaran ini, semua subjek ditawari kesempatan untuk membeli kondom dalam rangka mengurangi tingkat penyakit di pusat kesehatan siswa. Kewaspadaan bahwa seseorang mungkin gagal di masa lalu dalam menggunakan kondom tidak sesuai dengan pembicaraan publik dalam kemurahan penggunaan kondom dan seharusnya diproduksi dengan tidak sesuai. Diprediksi bahwa subjek yang menyiapkan pernyataan umum serta waspada akan kegagalan di masa lalu untuk terikat dalam seks aman yang mengurangi keengganan mereka dalam membeli kondom. Sesuai dengan prediksi ini, lebih dari 80% subjek dalam kondisi keengganan tinggi membawa kondom sebagai peebandingan 30-40% dalam kondisi lain.
Dampak dari dorongan pada pemeriksaan sikap oleh Festinger dan Carlsmith (1959) terjadi ketika seseorang ditawari dorongan untuk berperilaku dalam cara yang berbeda dengan sikapnya. Selanjutnya, jika tawaran asuransi kesehatan yang meremehkan pengurangan ongkos oleh pejoging regular mendorong beberapa orang yang menetap untuk mengatasi keengganan dan mulai berjoging, hasil ketidaksesuaian ini menyebabkan mereka mengembangkan sikap yang lebih positif untuk berjoging. Bagaiamana pun juga, efek positif ini mungkin dibalik keseimbangannya oleh ketidakingingan efek negatif seperti penawaran mendirikan komunitas joging. Terdapat beberapa fakta yang meyakini bahwa penawaran dorongan untuk bekerja secara positif menilai perilaku mampu menghasilkan perilaku negatif terhadap aktivitas tersebut (Lepper, Greenem dan Nisbett, 1973). Hal yang disebut efek pengadilan ini terjadi ketika seseorang dihargai untuk terikat dalam perilaku yang telah mereka temukan secara intrinsik menarik dan menyenangkan. Sikap positif terhadap kebiasaan yang terus digali dengan insentif positif, bisa jadi dalam bagian karena orang-orang menghubungkan kebiasaanya untuk insentif daripada untuk ketertarikan hakiki pada aktifitasnya (lihat Bem, 1972).
Ringkasan dan Kesimpulan
Pada bagian sebelumnya telah didiskusikan tentang kekuatan dan kelemahan dari penggunaan pesan-pesan yang meyakinkan sebaik perubahan dalam struktur insentif sebagai strategi campur tangan dalam perubahan kebiasaan kesehatan. Pesan-pesan yang meyakinkan bekerja sangat baik dengan individu yang termotivasi dan mampu untuk mengolah komunikasi yang meyakinkan, akan tetapi beberapa dari grup target yang paling menjanjikan untuk pendidikan kesehatan biasanya lebih sering tidak termotivasi dan kadang-kadang juga tidak dapat untuk memprosesnya. Walaupun demikian penggunaan dari insentif untuk mempengaruhi kebiasaan khususnya menguntungkan di bawah kondisi ini, strategi ini adalah persoalan keterbatasan. Demikian, sanksi legal hanya dapat digunakan untuk kebiasaan yang dapat diamati didepan masyarakat umum. Ketika keefektifan kebiasaan dapat diperkenalkan di depan masyarakat umum, seperti penggunaan sabuk pengaman, atau kebut-kebutan, sanksi akan sulit diadakan apabila kebiasaan memohon untuk mempengaruhi sulit untuk dimonitor. Bagaimana pun juga, kegiatan monitoring tidak diperlukan untuk modifikasi kelakuan yang mengandalkan perubahan harga. Dengan demikian, walaupun kebanyakan minum alkohol telah dilakukan sendiri dan tidak dapat diamati, fakta bahwa mengizinkan pengaruh minuman alkohol harus dibawa melewati dapat menaikan harga minuman keras.
Hal tersebut seharusnya menegaskan bahwa merubah struktur insentif atau dengan menggunakan seruan-seruan yang meyakinkan seharusnya tidak bisa dilihat sebagai strategi yang tepat dari sikap dan perubahan tingkah laku. Sesudah itu, keefektifan dari sanksi yang legal kemungkinan besar bergantung pada penerimaan dari hukum dan pandangan individual tentang pelanggaran hukum yang digabungkan dengan sanksi beresiko tinggi. Sebagai contoh, kemungkinan besar sedikit yang mengetahui tentang pengenalan pembuatan peraturan tentang sabuk pengaman yang diwajibkan tidak akan berjalan efektif apabila orang-orang tidak mau menerima peraturan tersebut tanpa kemauan mereka sendiri. Faktanya, tanpa kampanye yang meyakinkan yang dibuat agar diketahui masayarakat luas tentang penggunaan sabuk pengaman penting untuk mengurangi resiko dari terluka pada kecelakaan lalu lintas, tidak mungkin perkenalan dari sebuah peraturan telah dikerjakan dengan mudah secara politik.

Identifikasi dan Modifikasi dari Kebiasaan yang Merugikan Kesehatan
Pada bagian ini akan dibahas dua bagian dari kebiasaan yang merugikan kesehatan, merokok dan kebiasaan seksual yang beresiko, yang perubahan secara dramatisnya telah diamati selama 1 dekade terakhir. Meskipun terdapat perbedaan yang mencolok diantara kebiasaan tersebut, kedua kebiasaan ini memiliki persamaan yaitu hal tersebut telah dianggap sebagai konsekuensi kecil dari kesehatan hingga mereka akhirnya secara tiba-tiba menemukan bahwa hal tersebut merupakan faktor resiko utama dari penyakit-penyakit yang mematikan. Walaupun diawal informasi dari resiko kesehatan akibat merokok dan seks yang tidak aman telah cukup untuk mencapai perubahan kebiasaan yang utama, banyak sekali kaum minoritas masih melakukan kebiasaan yang beresiko tinggi ini. Semakin meningkatnya ketidakefektifan dari kampanye semata-mata didasarkan pada informasi resiko yang telah distimulasikan oleh penelitian psikologi sosial hingga menjadi faktor yang menentukan dari kebiasaan ini.
Kasus Merokok
Dampak Kesehatan yang Diakibatkan Dari Merokok
Merokok telah diidentifikasi sebagai salah satu sumber paling penting dari kematian dan keadaan yang tidak sehat yang seharusnya dapat dicegah di setiap laporan pemeriksaan umum Amerika yang dibuat sejak tahun 1964. Hal itu telah diperkirakan rata-rata setiap 5,5 menit sebuah nyawa hilang dari setiap rokok yang dihisap dan kematian dari merokok di Amerika melebihi 320.000 jiwa tiap tahunya (Komunitas Kanker Amerika, 1986). Sebagai perbandingan atas jiwa yang hilang, industri pesawat terbang harus memperagakan 3 kecelakaan pesawat jumbo jet setiap hari dalam setahun (Walsh dan Gordon).
Tiga puluh hingga 40 persen dari kematian setiap tahunnya berasal dari penyakit jantung koroner (Kasus utama dari kematian di sebagian besar negara industri) dapat diakibatkan oleh merokok (Fielding, 1985). Secara keseluruhan, kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung di Amerika 70 persen lebih besar berasal dari kalangan perokok daripada golongan bukan perokok (Departemen Kesehatan dan Pelayanan Manusia Amerika, 1985). Hal serupa telah dilaporkan dari Kanada, Inggris, Skandinavia, dan Jepang (grup riset proyek poling, 1978).
Hal kedua yang menjadi penyebab kematian utama di Amerika dan bangsa industri persemakmuran adalah kanker. Kanker paru-paru bertanggung jawab atas kebanyakan kematian daripada jenis kanker lainya. Hal tersebut di Amerika terhitung 25 persen kematian atas kanker dan 5 persen dari seluruh total kematian (Fielding, 1985). Antara 80 sampai 85 persen kematian atas kanker paru-paru diakibatkan oleh merokok (Departemen Kesehatan dan Pelayanan Manusia Amerika, 1982). Bagaimana pun juga, kontroversi dari pandangan pada umumnya, jantung koroner dan bukanya kanker paru-paru adalah penyebab utama dari kematian akibat merokok, karena lebih banyak orang meninggal akibat penyakit jantung daripada kanker paru-paru.
Sakit juga sangat lebih tinggi terjadi di kalangan perokok daripada di kalangan bukan perokok. Saat ini perokok dilaporkan menderita lebih banyak bronchitis kronis, emphysema, sinusitis kronis, radang dinding lambung, dan penyakit jantung arterios clerotic daripada orang-orang yang tidak pernah menghisap rokok (Swartz, 1987). Data dari survei wawancara kesehatan nasional yang diselenggarakan di Amerika tanhun 1974 memberikan kesan bahwa lebih dari 81 juta kelebihan hari kerja hilang dan lebih dari 145 juta kelebihan hari akibat gangguan tidur terjadi akibat merokok (Schwartz, 1987).
Resiko sakit dan kematian akibat pipa dan cerutu yang tidak dihisap terlalu dalam adalah lebih kecil daripada rokok, akan tetapi resiko tersebut tetap lebih tinggi dari pada orang-orang yang tidak merokok (Fielding, 1985). Sudah sangat jelas apakah perokok yang menggunakan rokok filter memiliki resiko lebih kecil dari sakit dan kematian daripada perokok yang memakai rokok yang tidak berfilter. Walaupun terdapat beberapa bukti perubahan dari pemakaian rokok tidak berfilter ke rokok berfilter memiliki resiko yang lebih rendah dari terkena kanker paru-paru (Lubin, Blot, Berrino dkk, 1984) hal tersebut tidak terlihat mengurangi resiko perkembangan penyakit jantung (Fielding, 1985). yang paling mengejutkan, studi skala besar yang dilakukan di Jerman menemukan bahwa perokok yang mengkonsumsi rokok berfilter meninggal rata-rata 4 tahun lebih cepat daripada perokok yang mengkonsumsi rokok tidak berfilter (Kruger dan Schmidt, 1989).
Perokok tidak hanya membahayakan kesehatan dirinya sendiri, akan tetapi juga membahayakan kesehatan orang lain. Data epidemiologikal memberi kesan bahwa pemakaian rokok di saat kehamilan mungkin berhubungan dengan aborsi spontan, kelahiran prematur, berat bayi yang kurang saat dilahirkan dan kematian bayi di hari pertama kelahiranya (Kaplan, 1988; McGinnis dkk, 1987). Ada juga bukti penilaian kematian dari kanker paru-paru di antara orang-orang yang tidak merokok yang tidak merokok secara disengaja atau yang disebut perokok pasif mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena kanker paru-paru (baca Stroebe dan Stroebe, 1995). Di Amerika, hasil penemuan telah menuju pengenalan lebih jauh tentang pembatasan lebih keras untuk tempat-tempat dimana tembakau dapat dihisap (Departemen Kesehatan dan Pelayanan Manusia Amerika, 1986). Pembatasan serupa sekarang telah menjadi pertimbangan di Inggris setelah hadiah akibat kerugian diberikan kepada seorang pegawai yang telah duduk di dekat 7 rangkaian perokok selama 14 bulan dan secara permanen mempengaruhi kesehatannya (Independent Minggu, 31 Januari 1993).

Kampanye yang Meyakinkan dan Modifikasi Perilaku
Di tahun 1964 seorang ahli bedah umum asal Amerika mempublikasikan laporan pertama resiko kesehatan dari merokok dan sejak saat itu dimulai “Perang Terhadap Rokok” yang masih menjadi perang hingga saat ini. Data dari perubahan konsumsi rokok per kapita di Amerika antara setengah abad ini secara pasti memberikan kesan kampanye anti rokok ini memberikan dampak yanglebih besar (Gambar 5.5). masih, walaupun dengan membersihkan data seperti itu, tetap sulit untuk menentukan berapa banyak dari penurunan kebiasaan merokok harus dihubungkan ke kampanye media, studi eksperimental adalah dibutuhkan, di dalam sebuah grup yang terdiri dari beberapa orang yang terbuka terhadap kampanye ketika grup perbandingan lainya tidak. Hal ini menunjukan bahwa grup eksperimental mempunyai keunggulan dalam rata-rata penghentian di atas grup yang dikontrol, perbedaan ini dapat dihubungkan ke dalam komunikasi.
Untungnya, sejumlah data tersedia dari beberapa studi komunitas utama yang bertujuan pada pengurangan rata-rata merokok sebagai bagian dalam kampanye mereka untuk mengurangi resiko penyakit jantung koroner. Penemuan dari studi tentang penghentian dari kebiasaan merokok ini yang telah menjadi ringkasan dalam sebuah laporan ahli bedah umum di Amerika baru-baru ini (1984; lihat juga tabel 5.1). Kemungkinan komunitas yang paling sukses dalam campur tangan telah dicapai oleh Proyek Karelia Utara yang diadakan di Finlandia utara (Puska dkk, 1985). Sebagai bagian dari proyek ini, sebuah kampanye edukasi intensif telah dilakukan untuk mengurangi kebiasaan merokok. Propinsi tetangga dari Kuopio telah ditunjuk sebagai grup kontrol yang tidak terlihat di kampanye. Pelaporan sendiri dari jumlah rokok yang dikonsumsi tiap hari jatuh kepada lebih dari sepertiga kalangan laki-laki di Karelia Utara, berbanding pada hanya 10 persen pengurangan di kalangan laki-laki dalam kontrol komunitas. Kampanye tidak memberikan efek kepada rata-rata perokok wanita.
Walaupun pelaporan sendiri dari rata-rata rokok yang dihisap dapat berubah karena efek keinginan sosial, hal ini mendorong 24 persen pengurangan kematian terhadap penyakit jantung telah diteliti di Karelia Utara sebanding dengan 12 persen pengurangan di bagian lain negara tersebut (Puska dkk, 1985). Selanjutnya lihat Gambar 5.5. di akhir tulisan ini.

Perilaku yang Menbahayakan Kesehatan
Tabel 5.1 Pengurangan rokok yang diamati di komunitas studi utama
Studi Tahun Persen Bersih Pengurangan Dalam Merokoka
Studi Komunitas Stanford 3 3 15-20
Studi Pantai Utara Australia 3 15
Program Riset Nasiona Swiss 3 8
Proyek Karelia Utara 10 25b
Studi Skala Besar Lainyac 2-10 5-25

a. Perbedaan atara persen pengurangan dalam proporsi perokok di campur tangan maksimum dibandingkan dengan kondisi kontrol.
b. Perbedaan atara persen pengurangan diantara jumlah dari rokok yang dihisap tiap hari diantara para pria.
c. Klinik dan tempat uji coba kerja. Uji coba rokok terhadap pegawai pemerintah London, Studi Goteborg, Studi Oslo, Kolaborasi uji coba WHO, dan uji coba campur tangan faktor resiko berganda.
Sumber: Diadaptasi dari Laporan Ahli Bedah Umum Amerika (1984)

Di komunitas studi terkenal yang lain, Komunitas Studi Stanford 3, hanya grup eksperimental yang menerima pasien secara tatap muka, instruksi intensif menambah untuk pembongkaran media mencapai pengurangan signifikan saat dibandingkan dengan grup kontrol (Farquhar dkk, 1977). Dua komunitas studi lain yang diadakan di Australia (Egger, Fitzgerald, Frape, dkk, 1983) dan di Swiss (Autorengruppe Nationales Forschungsproggramm, 1984) mencapai pengurangan bersih dari 8 persen hingga 15 persen. Ahli bedah umum Amerika (1984) menyimpulkan bahwa pengurangan dari 12 persen rata-rata merokok biasanya terjadi di tipe komunitas yang mau ikut campur.



Legal dan Pengukuran Ekonomi dan Modifikasi Perilaku
Dampak dari kampanye yang meyakinkan dapat di tambahkan oleh aspek legal dan pengukuran ekonomi seperti pembatasan lebih lanjut dalam perdagangan rokok (seperti pembatasan umur) dan peningkatan pajak. Peningkatan pajak seharusnya berdampak efektif kususnya di kalangan remaja, yang rata-rata mempunyai kemampuan mengatur keuangan lebih kecil daripada orang dewasa, jadi lebih mudah dihindarkan dari merokok dengan sasaran nyata di harga rokok. Telah diperkirakan sebelumnya bahwa 10 persen kenaikan dari harga rokok akan menghasilkan 14 persen pengurangan dari permintaan atas rokok di kalangan anak remaja akan tetapi hanya 4 persen pengurangan di kalangan orang dewasa (Lewit dan Coate, 1982).
Dasar dari perkiraan-perkiraan Harris (1982) memprediksi bahwa di tahun 1982 terjadi penggandaan pajak rokok oleh kongres Amerika yang akan menghasilkan 3 persen penurunan dari jumlah perokok dewasa tetapi 15 persen pengurangan di kalangan remaja. Hal ini akan menyebabkan penghapusan 1,5 juta perokok dewasa dan 700.000 perokok remaja dari resiko tinggi kelompok perokok (Walsh dan Gordon, 1986). Karena penggandaan pajak ini mempengaruhi pertumbuhan dari 8 hingga 16 persen, lebih banyak sasaran peningkatan pajak akan terlihat sebagai sebuah strategi yang menjanjikan dari mencegah orang-orang yang lebih muda untuk menjadi perokok, terutama apabila hal ini dikombinasikan dengan berbagai macam program edukasi yang telah dijelaskan sebelumnya.



Kesimpulan
Merokok telah diidentifikasi sebagai salah satu sumber paling penting dari penyakit-penyakit yang seharusnya dapat dicegah dan kematian dan sekarang fakta ini telah diterima oleh para perokok dan orang-orang yang tidak merokok secara bersama. Kebanyakan perokok mengakui bahwa mereka ingin berhenti merokok. Banyak perokok bahkan terlihat dapat berhenti melakukan keniasaan merokok tanpa membutuhkan bantuan. Demikian, survei yang dilakukan oleh Schachter (1982) dan Rzewnicki dan Forgays (1987) memberikan kesan bahwa kira-kira 60 persen dari perokok yang berhenti merokok telah berhasil diwawancaraai. Hasil belakangan ini adalah sesuai dengan data epidemiologikal yang mengindikasikan bahwa pengurangan signifikan dari rata-rata merokok dapat dilihat pada dekade terakhir secara besar-besaran terjadi pada orang-orang yang berhenti tanpa memerlukan bantuan. Akan tetapi sejak membuat menyerah seorang yang telah menetapkan untuk membiasakan diri untuk merokok itu selalu sulit, strategi yang paling menjajikan untuk mencegah merokok adalah dengan memberi penjelasan agar orang-orang tidak memulai untuk merokok.

Kasus Aids
Epidemiologi dari AIDS
Di berbagai kota-kota besar di Australia, Amerika Utara, dan Eropa Barat, AIDS telah menjadi penyebab utama kematian di usia muda orang dewasa. Di tahun 1988, AIDS telah memimpin penyebab kematian di antara orang-orang berusia 25-34 di kota New York. Di tahun 1989, penyakit yang berhubungan dengan HIV telah menjadi penyebab keduakematian laki-laki dan penyebab keenam dari kasus kematian di Amerika di antara orang-orang dewasa usia 25-44. Sesuai Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hampir 1 juta kasus AIDS telah dilaporkan sejak 1 Juli 1994, akan tetapi dengan mengizinkan kasus yang sedang didiagnosis, sedang dilaporkan, dan penundaan dalam pelaporan, WHO memperkirakan kasus AIDS telah mencapai 4 juta di berbagai belahan dunia (Program Global AIDS, 1994). Dari hal ini diperkirakan lebih dari tiga perempat juta kasus disebabkan oleh penularan dari ibu ke anak, hampir semuanya terjadi di sub-sahara Afrika. Proyeksi penumpukan total dari kasus AIDS untuk tahun 2000 adalah mendekati 10 juta.
Walaupun demikian kemajuan terkemuka di dalam perawatan orang yang telah terinfeksi, menggunakan produk pharmaceutical (obat-obatan farmasi) yang dapat memperlambat perkembangan penyakit atau mencegah kemungkinan infeksi, tidak ada obat yang efektif atau vaksin yang telah dikembangkan hingga saat ini. Mengubah kebiasaan adalah metode yang tersedia untuk mencegah infeksi HIV. Petunjuk resiko pengurangan telah diformulasikan untuk mengurangi transmisi penyakit lebih lanjut. Instruksi ini mendorong pengurangan dari pertukaran cairan tubuh ketika seks berlangsung, menahan diri dari seks yang tidak aman, dan juga tidak menggunakan jarum secara bergantian untuk menyuntikan obat kedalam pembuluh darah atau cukup dengan membersihkan jarum yang akan dipakai.

Penyebab AIDS
Penyebab dari AIDS adalah suatu virus yang disebut dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV), yang langsung menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Secara normal, sistem kekebalan tubuh manusia membentuk antibodi yang melindungi dari gangguan. Sayangnya, bagaimanapun juga, antibodi ini tidak dapat melindungi seperti yang mereka lakukan pada virus-virus yang biasanya, dan sistem kekebalan tubuh tidak berhasil untuk menghilangkan virus. Meskipun peran mereka terbatas dalam memerangi virus, antibodi terhadap HIV digunakan sebagai indikator keberadaan virus. Antibodi dalam darah dapat dideteksi dengan tes sederhana. Ini bisa, namun bagaimana pun juga, membutuhkan waktu beberapa bulan setelah terinfeksi HIV sebelum dapat dideteksi oleh anibodi. Selama periode tersebut individu dapat menularkan virus kepada orang lain, misalnya melalui hubungan seksual.
Periode antara terinfeksi HIV dan menjadi gejala-gejala AIDS tidak seperti biasanya lama dibandingkan dengan penyakit menular lainnya, dan sangat berubah-ubah. Beberapa individu, mengalami perkembangan gejala sangat cepat, sedangkan yang lain tetap bebas dari gejala untuk sekian waktu yang lama, bahkan lebih dari 10 tahun (Rutherfordm, Lifson, Hessol, dkk., 1990). Rata-rata masa inkubasinya sekarang menjadi 7-10 tahun (Osborn, 1989). Antara 50 dan 75 persen laki-laki homoseksual terkena AIDS 8-10 tahun setelah terinfeksi oleh HIV. Masa inkubasi yang panjang ini masih belum bisa sepenuhnya diketahui virus HIV seperti apa yang menyerang seseorang yang pada akhirnya berkembang menjadi AIDS. Namun, ramalan sangat tidak menguntungkan. Penelitian yang dilakukan oleh suatu kelompok dalam jangka waktu yang panjang tentang individu seropositif menunjukkan bahwa sebagian besar, jika tidak semua, orang yang terinfeksi akan mengembangkan AIDS (Curran, Jaffe, Hardy, Morgan, Selik, & Dondero, 1988). Setelah gejala hadir beberapa pasien cepat memburuk sementara yang lain hidup bertahun-tahun. Rata-rata waktu hidup pasien dengan AIDS satu sampai tiga tahun.
HIV mempunyai pengaruh yang sangat buruk pada kesehatan dengan memasukkan dan membunuh sel-sel penting dalam sistem kekebalan tubuh, yang paling penting sel T-helper, jenis sel darah putih. Sel T-helper melayani fungsi penting dalam mengatur sistem kekebalan tubuh. Mereka merangsang sel-sel lainnya dalam sistem kekebalan tubuh untuk menyerang kuman-kuman yang menyerang. Dengan menginfeksi dan menghancurkan sel T-helper, HIV menghentikan proses pertempuran menyerang kuman pada akarnya. Menurunnya jumlah sel T-helper secara bertahap mengurangi kemampuan seseorang untuk melawan penyakit lain sampai sistem kekebalan akhirnya rusak sama sekali. Tanpa sistem kekebalan yang berfungsi untuk mempertahankan tubuh terhadap kuman lain, individu yang rentan terhadap infeksi oleh kuman (bakteri, protozoa, jamur, virus lainnya) dan keganasan, yang biasanya tidak mampu untuk mendapatkan pijakan. HIV juga dapat menyerang sistem saraf pusat dan menyebabkan kerusakan otak. Hal ini dapat menyebabkan gejala mirip dengan demensia, dan kehilangan kontrol atas fungsi tubuh.


Cara Penularan
Identifikasi HIV, agen aetiological AIDS, dan pengembangan lebih lanjut dari tes imunologi, memungkinkan untuk mengetahui individu pada risiko dan untuk mempelajari faktor-faktor risiko penularan HIV dalam studi sero-epidemio-logis yang besar. Ditemukan bahwa HIV ditularkan melalui pertukaran sel yang dikandung cairan tubuh, terutama darah, air mani dan cairan vagina. Empat jalur utama infeksi dapat dibedakan: menerima darah yang terinfeksi atau produk darah, penularan dari ibu ke anak, hubungan seksual, dan penggunaan jarum suntik untuk penggunaan narkoba suntikan (Curran, Morgan, Hardy, Jaffe, Darrow, dan Dowdle, 1985).
Hubungan seksual antara pria homoseksual anogenital berulang kali ditemukan dan menjadi faktor resiko utama terinfeksi HIV (misalnya Winkelstein, Samuel, Padian, dkk, 1987a). Untuk pria homoseksual risiko infeksi HIV tertinggi ketika mereka adalah mitra/ pasangan yang menerima (Lancar et. al, 1988; Kingsley, Detels, Kaslow, dkk., 1987). Baru-baru ini, sejumlah kasus yang telah dilaporkan di mana yang menerima seks oral adalah kemungkinan besar penyebab infeksi HIV (misalnya Keet, Albrecht-Van, Prapaskah, Sandfort, Coutinho, & Van Griensven, 1992). Penularan HIV selama hubungan seksual atau orogenital anogenital mungkin terjadi tanpa ejakulasi sejak HIV ditemukan dalam cairan pra-ejakulasi (misalnya Ilaria, Jacobs, Polsky, dkk, 1992).
Penggunaan kondom selama seks anal dipromosikan sebagai profilaksis penting terhadap infeksi HIV untuk pria homoseksual. Telah ditemukan bahwa pria gay yang menggunakan kondom hanya beberapa waktu enam kali lebih mungkin terinfeksi HIV dibandingkan mereka yang menggunakan kondom setiap saat (Detels dkk, 1989). Namun penelitian tentang infeksi HIV pada pasangan sumbang serologis menunjukkan bahwa kondom dan spermisida tidak sepenuhnya aman (Hulley & Hearst, 1989).
Sebuah penelitian tentang tingkat kegagalan kondom di kalangan pria homoseksual yang berpartisipasi dalam sebuah kelompok AIDS di Amsterdam ditemukan bahwa kondom sobek atau terlepas selama berhubungan anogenital pada hampir 4 persen dari yang sudah terbiasa (De Wit, van den Hock, Sandfort, & van Griensven, 1993). Tingkat Kegagalan sangat tergantung pada jenis pelumas yang digunakan. Kondom yang digunakan dengan pelumas berbasis air sering gagal daripada kondom yang digunakan dengan berbasis minyak pelumas.
Laboratorium dan studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa HIV tidak ditularkan oleh hubungan sehari-hari, dengan memeluk, mencium, melalui makanan atau air, atau dengan gigitan nyamuk dan serangga lainnya (Global Program on AIDS, 1994). Virus tidak memasuki tubuh melalui kontak langsung di seluruh kulit, dan karena itu tidak ditularkan melalui bersin, bersentuhan, jabat tangan, berbagi peralatan makan atau hidup dalam rumah tangga yang sama (Current dkk, 1988). Penelitian dalam suatu rumah tangga di mana salah satu anggotanya terinfeksi HIV, tidak ada lebih dari 400 anggota keluarga yang terinfeksi kecuali pasangan seks atau anak-anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi (Curren dkk, 1988). HIV telah diisolasi dari air liur, tetapi dengan konsentrasi yang rendah dan tidak ada bukti bahwa virus dapat ditularkan melalui berciuman yang menggebu-gebu.



Perubahan Perilaku Seksual Antara Manusia Homo
Ketika diketahui bahwa risiko infeksi HIV sangat dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dengan mengubah perilaku-perilaku yang membantu untuk mengirimkan virus, komunitas homoseksual di pusat epidemi bereaksi dengan intervensi/campur tangan dari berbagai tingkat masyarakat. Ini jarang dievaluasi secara resmi. Bukti tidak langsung tentang efektivitas upaya pencegahan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan perilaku protektif antara manusia homosekssual berasal dari sejumlah studi longitudinal yang telah dimulai di beberapa kota dengan komunitas gay besar di seluruh dunia industri, seperti San Fransisco, New York City, Vancouver dan Amsterdam. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pria homoseksual menginformasikan tentang risiko perilaku yang menyebabkan infeksi HIV yang mengakibatkan perubahan perilaku substansial (Coutinho, Van Griensven, & Moss, 1989).
Penurunan lebih dari 60 persen terjadi pada perilaku berisiko selama empat siklus pemeriksaan antara tahun 1984 dan 1986 dalam subset lebih dari 600 homo dan biseksual dalam sampel probabilitas pria lajang di San Francisco (Winkelstein, Samuel, Padian, dkk, 1987b). Fakta bahwa proporsi orang-orang yang terinfeksi HIV pada awal penelitian tidak meningkat pada periode penelitian menunjukkan bahwa pengurangan perilaku berisiko tinggi mengakibatkan stabilisasi infeksi HIV yang lazim di kelompok ini. Analisis perubahan perilaku lebih dari 13 siklus dalam kelompok ini (van Griensven, Samuel, & Winkelstein, 1993) menunjukkan penurunan tetap dalam persentase laki-laki yang melaporkan hubungan anogenital dengan ejakulasi; dari 84 persen pada tahun 1984, menjadi 30 persen pada tahun 1987. Sejak itu dan seterusnya persentase ini masih lebih atau kurang stabil. Selain itu, ditemukan peningkatan penggunaan kondom, di antara keduanya seropositif dan seronegatif laki-laki. Penurunan serupa pada perilaku berisiko dilaporkan dalam studi sampel pria gay di New York (Martin, 1987).
Jumlah mengesankan dari epidemiologi, studi perilaku dan psikologis tentang infeksi HIV yang telah selesai membuat jelas bahwa perubahan perilaku substansial telah terjadi di kalangan laki-laki homo seksual dan hal ini telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pencegahan infeksi HIV. Namun, bukti dari San Francisco dan New York City, pusat dari wabah/epidemi, dapat mendeteksi tingkat perubahan perilaku yang terjadi dalam komunitas gay sebagai akibat wabah AIDS. Studi yang dilakukan di wilayah yang kurang terkena biasanya melaporkan tingkat yang lebih tinggi dari perilaku berisiko tinggi di antara pria homoseksual, meskipun pengurangan substansial dalam perilaku berisiko telah terjadi (lihat Catania, Coates, Kegeles, Ekstrand, Guydish, & Bye, 1989). Sebagai contoh di Amsterdam Cohort Study (Studi kelompok Amsterdam), sebuah studi longitudinal lebih dari 600 orang yang berkali-kali ditanya tentang perilaku seksual mereka antara tahun 1984 dan 1988, 46 persen dilaporkan menyerah anogenital hubungan tanpa kondom, tapi hampir 30 persen masih rutin latihan teknik ini, dan lebih 19 persen terlibat dalam seks anal tanpa kondom beberapa waktu (De Wit, de Vroome, Sandfort, van Griensven, Coutinho, & The Tielman, 1992).
Selanjutnya, dalam beberapa tahun terakhir beberapa penelitian telah melaporkan bahwa perilaku dari kelompok pria homoseksual yang diamati pada awalnya berhasil diubah perilaku mereka, tetapi tidak dapat mempertahankan perubahan ini dari waktu ke waktu. Sebuah studi antara pria homoseksual dalam sampel probabilitas pria lajang di San Francisco dinilai pola perilaku longitudinal dalam jangka aktu empat tahunan antara tahun 1984 dan 1988 (Ekstrand & Coates, 1990). Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa 16 persen telah rentan terhadap perlindungan dan 12 persen untuk seks anal reseptif tanpa kondom. Dalam studi serupa di San Francisco antara sampel kenyamanan pria gay, awalnya direkrut dengan sosialisasi pemandian dan pengunjung bar, namun masih dominan ditemukan seks berisiko tinggi (Stall, Ekstrand, Pollack, Mc Kusick, & Coates, 1990). Di kelompok Amsterdam persentase orang yang dilaporkan terlibat dalam seks anal tanpa kondom meningkat dari 29 persen pada enam bulan pertama 1991 ke 41 persen di paruh kedua tahun yang sama. Sebagian besar perubahan ini terkait pada peningkatan seks anal tanpa perlindungan dengan pasangan yang santai, dari 13 ke 24 persen (De Wit dkk, 1993).
Ada beberapa keterbatasan metodologis untuk kelompok penelitian yang menggunakan sampel kenyamanan peserta yang mungkin termasuk temuan yang janggal. Penggunaan sampel kenyamanan dan kemungkinan besar tingkat penolakan menimbulkan pertanyaan sulit mengenai keterwakilan sampel dan generalisasi temuan. Mayoritas responden dalam studi ini tidak hanya putih dan terdidik (Becker & Joseph, 1988), tetapi motivasi yang mendasari keputusan untuk berpartisipasi juga tidak jelas (Catania, Gibson, Chitwood, & Coates, 1990). Jika individu menolak untuk berpartisipasi karena mereka berlatih perilaku seksual risiko-tinggi dimana mereka tidak mau mengakuinya, studi-studi ini benar-benar bisa meremehkan perilaku berisiko tinggi. Prasangka adalah faktor lain yang berpotensi muncul dari metodologi longitudinal yang digunakan hampir semua studi. Penilaian berulang-ulang dari waktu ke waktu dapat memantauan diri sendiri tentang perilaku seksual seseorang. Sepertinya masuk akal, karena itu, wawancara yang diulang-ulang dengan orang yang sama mungkin hasilnya perubahan tingkah laku yang tidak dinyatakan. Namun, Catania dkk. (1991) baru-baru ini membandingkan laporan dari sebuah kelompok dengan tiga orang sampel silang dari pria gay yang diwawancarai pada saat yang sama dan menemukan peningkatan dalam penggunaan kondom di seluruh sampel.

Perilaku Penentu Dan Intervensi (Campur Tangan)
Untuk mendesain dan menerapkan intervensi yang memadai untuk mempromosikan perilaku protektif perlu memahami faktor-faktor penentu perilaku berisiko. Studi menilai bahwa faktor-faktor penentu perilaku antara pria homoseksual ditemukan sejumlah besar variabel yang berkaitan dengan tindakan seksual berisiko-tinggi. Secara umum, investigasi ini dinilai dari variabel ditetapkan dalam teori psikologi sosial menyehatkan dan psikologis perilaku. Bukti empiris dikumpulkan mengenai pentingnya variabel-variabel berikut dalam mengubah perilaku seksual yang berisiko-tinggi: pengetahuan (misalnya Kelly dkk, 1990), pentingnya hubungan anal (Mc Kusick, Coates, Morin, Pollack, & Hoff, 1990), kondom akseptabilitas (Valdisseri, Lyter, Leviton, Callahan, Kingsley, dan Rinaldo, 1988), norma-norma sosial (Joseph, Montgomery, Emmons, dkk, 1987), kepercayaan dari teman-teman dan kekasih (Mc Cusker, Zapka, Stoddard, & mayer, 1989), komunikasi tentang menyimpan seks dengan pasangan (Linn, Spiegel, Mathews, Leake, Lien, & Brooks, 1989), merasa bahwa mengubah perilaku seseorang itu sulit (Siegel, Mesagno, Chen, & Kristus, 1989), dan kemanjuran pribadi sehubungan dengan mengubah perilaku seksual yang berisiko tinggi (Mc Kusick dkk, 1990). Beberapa studi juga menemukan bahwa usia muda berkaitan dengan perilaku sksual yang berisiko (Ekstrand & Coates 1990; Kelly dkk, 1990; Mc Kusick dkk, 1990). Hospers dan Kok (1995) mengkaji ulang terhadap studi tentang faktor-faktor penentu perilaku resiko seksual di kalangan pria homoseksual. Mereka menyimpulkan bahwa, secara umum, perilaku berani mengambil risiko berhubungan dengan sikap individu, norma subyektif dan persepsi pengendalian perilaku.
Namun, Fisher dan Fisher (1992) menunjukkan tinjauan ekstensif mereka mengenai studi intervensi, beberapa intervensi telah ketat yang berasal dari teori psikologi sosial perubahan sikap dan perilaku. Sebaliknya, sebagian besar intervensi berdasarkan "perpaduan logika dan practicle pengalaman "(hal 463). Fisher dan Fisher mengamati bahwa intervensi yang didasarkan pada konsep-konsep teoritis formal lebih berhasil. Mereka juga berpendapat bahwa meskipun subyek menyediakan informasi tentang perilaku berisiko dan memotivasi mereka untuk menghindari perilaku seksual berisiko merupakan kondisi yang diperlukan untuk mempromosikan perubahan perilaku, ini mungkin tidak cukup untuk pengurangan risiko infeksi HIV. Mereka menunjukkan bahwa intervensi pendidikan kesehatan dan juga kemampuan berperilaku lebih unggul dalam sikap pasca-pengobatan dan perubahan perilaku. Kemampuan berperilaku tertentu seperti kemampuan untuk berkomunikasi dengan bersikap tegas dengan paangan seksual, yang diperlukan untuk mempraktekkan perilaku seksual yang aman. Individu harus mampu menegosiasikan perilaku pencegahan HIV dengan pasangannya dan mampu meninggalkan situasi dimana seks yang aman tidak dapat dinegosiasikan (Fisher & Fisher, 1992).
Beberapa program yang efektif telah dikembangkan dan diuji. Intervensi ini termasuk pelatihan keterampilan perilaku dan sosial yang relevan. Kelly, St Lawrence, Hood dan Brasfield (1989) menetapkan secara acak 104 laki-laki homoseksual yang sehat ke grup intervensi atau sekelompok orang yang menunggu daftar kontrol. Peserta dalam kelompok intervensi diajarkan, melalui pemodelan, permainan peran dan umpan balik korektif, bagaimana melakukan kontrol dalam hubungan dan untuk melawan pemaksaan oleh pasangan seks untuk terlibat dalam kegiatan seksual yang tidak aman. Evaluasi pada akhir program pelatihan menunjukkan bahwa anggota dari kelompok intervensi secara signifikan mengurangi frekuensi seks anal yang tidak sehat dan telah meningkatkan frekuensi penggunaan kondom. Perubahan ini tetap dipertahankan hingga delapan bulan ke depan; frekuensi hubungan anal sudah turun mendekati nol dan pemakaian kondom 77 persen dari beberapa kasus di mana hubungan seks anal berlangsung. Valdiserri, Lyter, Leviton, Callahan, Kingsley dan Rinaldo (1989) menemukan sebuah intervensi yang meliputi pelatihan keterampilan perilaku menjadi lebih efektif daripada program-informasi saja.
Secara umum, sulit untuk mengubah perilaku setelah menjadi suatu kebiasaan. Ini merupakan pertimbangan penting yang mendasari pengenalan program pendidikan HIV dalam kurikulum sekolah. Program ini sangat penting karena dapat membantu menginformasikan kebiasaan yang protektif sebelum banyak perilaku yang tidak aman terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir banyak program telah dikembangkan untuk menginformasikan seks aman di kalangan remaja. Sebagian besar dimaksudkan untuk mempromosikan penggunaan kondom, hanya sebagian kecil program yang dengan tegas bahwa penundaan hubungan seksual dipromosikan sebagai strategi pencegahan. Secara umum, program yang telah ditemukan ini digunakan untuk meningkatkan tingkat pengetahuan tetapi tidak untuk memunculkan pengaruh perilaku protektif. Vogels dan Danz (1990) menemukan bahwa 60 persen remaja yang berpengalaman seksual di Belanda tidak konsisten menggunakan kondom. Kebanyakan remaja menganggap kondom menjadi alat kontrasepsi dan juga tidak menggunakannya, atau berhenti menggunakannya, saat pasangan wanita menggunakan alat kontrasepsi secara oral. Alasan kedua untuk efektivitas program-program pencegahan terbatas untuk remaja adalah bahwa mereka umumnya tidak didasarkan pada negara-negara teoritis dan temuan empiris, juga menghadapi masalah sehubungan dengan program pendidikan HIV untuk pria gay. Satu masalah lain dalam kaitannya dengan pendidikan HIV di kalangan remaja adalah bahwa kerjasama dan dukungan dari para guru sekolah tinggi dan administrator diperlukan untuk melaksanakan program ini. Mengadopsi kelas berbasis pendidikan HIV bisa sangat luas antara sekolah dan guru dan dapat berhubungan dengan keyakinan guru tentang program yang tersedia, dan peran mereka terhadap pendidikan seks secara umum dan pendidikan HIV pada khususnya, serta kebijakan sekolah tentang pendidikan seks.

Ringkasan dan Kesimpulan
Bagian pertama dari bab ini difokuskan pada teori-teori psikologi sosial perubahan sikap dan perilaku. Dari diskusi ini sejumlah prinsip sederhana dapat diturunkan untuk desain kampanye yang ditujukan untuk mengubah pola perilaku yang merusak kesehatan. Setelah perilaku telah diidentifikasi sebagai yang merusak kesehatan, langkah pertama dalam perencanaan kampanye adalah untuk mempelajari faktor-faktor yang menentukan perilaku dalam populasi target. Penelitian ini harus didasarkan pada model perilaku seperti teori perilaku terencana, keyakinan kesehatan model, atau teori perlindungan motivasi. Langkah kedua dalam kampanye perencanaan adalah untuk memutuskan jenis strategi perubahan sikap dan perilaku untuk dipekerjakan. Misalnya ia harus memutuskan apakah akan hanya mengandalkan persuasif atau untuk melengkapi pesan persuasif dengan perubahan struktur insentif. Faktor-faktor yang relevan dengan keputusan ini adalah motivasi dan kemampuan pengolahan potensi penerima komunikasi kesehatan dan / atau apakah perilaku tersebut setuju untuk mempengaruhi oleh insentif positif atau negatif. Sebagai contoh, yang tidak umum diamati (dan dengan demikian tidak mudah terbuka untuk sanksi) dan yang tidak bergantung pada bahan yang harus dibeli (dan dengan demikian sulit untuk mempengaruhi melalui kenaikan harga) jelas sulit untuk mengubah melalui perubahan struktur insentif. Jelas, perubahan struktur insentif dapat digunakan tidak hanya untuk meningkatkan tetapi juga untuk mengurangi biaya dari suatu perilaku tertentu. Sebagai contoh, karena jarum berbagi di antara pengguna narkoba merupakan salah satu sumber penyebaran AIDS, membuat jarum gratis yang tersedia dalam program jarum-sharing dapat membantu mengurangi faktor resiko. Akhirnya, harus diingat bahwa strategi yang mengandalkan persuasi dan orang-orang yang menggunakan insentif saling melengkapi dan harus digunakan dalam kombinasi.
Hal ini terbukti dari diskusi kita tentang merokok dan perilaku resiko seksual sebagai studi kasus tentang penerapan teori psikologi sosial perubahan sikap dan perilaku bahwa prinsip-prinsip ilmiah yang diuraikan dalam bab ini tidak selalu diperhatikan dalam perencanaan promosi kesehatan. Jadi, sebagian besar kampanye awal terhadap merokok atau perilaku resiko seksual bergantung pada kekuatan argumen bahwa perilaku yang berbahaya dan bahwa mereka terlibat dalam meningkatkan risiko mengembangkan penyakit mematikan. Sedangkan jenis informasi ini adalah efektif dalam memotivasi perubahan pada tahap awal saat orang-orang tidak tahu tentang risiko ini, tidak lagi efektif pada orang yang bertahan dalam terlibat dalam perilaku meski pengetahuan yang mereka berbahaya. Setiap kampanye informasi saat ini ditujukan bahwa perilaku berisiko akan memiliki sedikit kesempatan untuk sukses kecuali hal itu didasarkan pada prinsip-prinsip psikologis sosial perubahan sikap dan perilaku.










































































Gambar 5.5 Konsumsi Rokok Per Kapita diantara Orang-orang Dewasa dan Perokok Utama dan Kegiatan Kesehatan di Amerika, 1900-1984 (Novotny, Romano & Mills, 1992).

1. Depresi besar
2. Akhir dari Perang Dunia ke-2
3. Laporan medis pertama yang menghubungkan antara kebiasaan merokok dengan penyakit kanker
4. Laporan pertama ahli bedah umum Amerika
5. Larangan penyiaran iklan
6. Penggandaan pajak rokok negara bagian
7. Pesan doktrin yang adil di televisi dan radio
8. Pergerakan hak-hak orang yang tidak merokok dimulai