FIRO : A THREE-DIMENSIONAL
THEORY OF INTERPERSONAL RELATIONS
FIRO adalah singkatan dari Fundamental Interpersonal Relations Orientation. Merupakan salah satu teori yang berkaitan dengan hubungan interpersonal yang dikemukakan oleh Schutz. Semula diformulasikan oleh Schutz pada tahun 1955, yang kemudian dikembangkan dan dimodifikasi. Teori ini berorientasi pada Psikoanalisis. Sebagaimana namanya, teori ini mencoba menjelaskan perilaku interpersonal dalam orientasinya dengan orang lain. Teori ini mengemukakan bahwa orang mengorientasikan dirinya kepada orang lain dengan cara-cara yang tertentu, yang merupakan determinan yang mempengaruhi perilakunya dalam hubungan interpersonal. Pola hubungan antar pribadi (interpersonal) dapat dijelaskan dalam tiga kebutuhan interpersonal, yaitu inklusi (inclusion) atau keikutsertaan, kontrol dan afeksi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut terbentuk pada masa anak-anak dalam interaksi dengan orang-orang dewasa, khususnya orang tua. Bagaimana interaksi pada masa anak-anak apakah kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi atau tidak, dan hal tersebut akan berpengaruh pada interaksi di masa mendatang.
Inklusi adalah kebutuhan akan keikutsertaan (togetherness), kebutuhan untuk bergabung dengan orang lain. Kebutuhan tersebut nampak melalui perilaku untuk menarik orang lain dan interest pada orang lain. Orang yang kuat akan kebutuhan inklusi ini akan nampak melalui keinginan untuk dikenal, terkemuka, dsb.
Kebutuhan akan kontrol bervariasi dari kebutuhan untuk mendominasi orang lain sampai kebutuhan untuk dikontrol. Pada satu pihak orang ingin mengontrol orang lain secara mutlak (komplit), sedangkan di pihak lain keinginan untuk dikontrol oleh orang lain secara mutlak. Orang dengan kebutuhan mengontrol yang tinggi menggelar pemberontakan-pemberontakan, perlawanan-perlawanan dan menolak untuk dikontrol; sedangkan orang dengan kebutuhan dikontrol yang tinggi bersifat submisif terhadap orang lain.
Kebutuhan afeksi adalah erat hubungannya dengan personal dan emotional feeling antara dua individu, dan dalam keadaan ekstrem menjelma dalam cinta dan benci. Orang dengan kebutuhan afeksi yang tinggi akan bersahabat (friendly), pada umumnya akan menciptakan hubungan emosional dengan orang lain. Pada pihak yang lain orang dengan kebutuhan afeksi yang rendah akan menolak hubungan interpersonal yang lekat.
Apabila dua orang atau lebih mengadakan interaksi maka ada dua pola perilaku yang mungkin terjadi, yaitu compatible (kecocokan) atau tidak kompatibel (ketidakcocokkan). Apabila interaksi itu kompatibel, maka interaksi itu mudah dan produktif, tetapi bila tidak kompatibel maka interaksi itu sulit dan tidak produktif. Menurut Schutz ada tiga macam kompatibilitas-tidak kompatibilitas yang dapat terjadi dalam setiap kebutuhan tersebut, yaitu interchange compability, originator compability dan reciprocal compability.
Interchange compability (kompabilitas saling terkait) berdasarkan pada mutual expression dari inklusi, kontrol dan afeksi. Interchange compability akan terjadi apabila dua orang yang berinteraksi adalah sama dalam bertukar (exchange) keinginan-keinginannya, dan apabila tidak sama maka akan terjadi incompability. Apabila keduanya sama-sama menginginkan tinggi atau rendah, maka akan terjadi compability. Tetapi kalau yang satu ingin tinggi dan yang satunya ingin rendah, maka akan terjadi incompability. Jadi exchange compability bergantung pada tingkatan yang keduanya menghendaki adanya mutual interaksi yang mereka inginkan.
Originator compability (kompabilitas asal usul) datang dari originator-receiver. Pada umumnya dua orang mencapai kompabilitas terhadap tingkatan ekspresi dari inklusi, kontrol dan afeksi cocok dengan yang diinginkan oleh pihak lain dari masing-masing aspek. Misalnya apabila seseorang ingin mengontrol dan mencoba menguasai orang lain, dan pihak lain ingin dikuasai, ingin dikontrol maka akan terjadi kompatibel. Sebaliknya apabila keduanya ingin mengontrol, ingin menguasai, maka akan terjadi incompatible. Dalam aspek afeksi kompabilitas akan terjadi apabila orang ingin mengekspresikan afeksinya bertemu dengan orang yang ingin mendapatkan afeksi. Dalam aspek kontrol kompabilitas terjadi apabila orang yang ingin mendominasi orang lain bertemu dengan orang yang ingin didominasi atau ingin diatur. Dalam aspek inklusi kompabilitas akan terjadi apabila orang yang ingin melakukan kegiatan yang membutuhkan pengikut, bertemu dengan orang yang ingin diikutkan dalam kegiatan tersebut.
Reciprocal compability (kompabilitas timbal balik) ini terrefleksi dengan derajat dalam mana dua orang saling memuaskan secara timbal balik satu dengan lainnya. Jadi apabila satu orang ingin orang lain mengekspresikan afeksinya dan yang lain tersebut berbuat demikian, maka dalam hal ini terjadi kompatibel dalam hal afeksi. Tetapi apabila satu pihak mengalami frustasi karena pihak lain tidak mengekspresikan efeksinya, atau tidak dapat mengekspresikan perilakunya yang diharapkan oleh pihak lain (misalnya afeksi atau kontrol), maka akan terjadi incompatible dalam hubungan interpersonal tersebut. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa secara umum reciprocal compability itu bergantung pada tingkatan dimana perilaku seseorang sesuai dengan kebutuhan dari orang yang menjadi pasangan dalam hubungan interpersonal.
ATRIBUSI
Atribusi adalah kesimpulan yang dibuat oleh seseorang untuk menerangkan mengapa orang lain melakukan suatu perbuatan. Penyebab yang dimaksud biasanya adalah disposisi pada orang yang bersangkutan. Dengan demikian teori-teori atribusi adalah usaha untuk menerangkan bagaimana suatu sebab menimbulkan perilaku tertentu.
Sejauh ini di dalam psikologi social dikenal ada tiga teori dalam kaitannya dengan atribusi yaitu :
A. Theory of Correspondent Inferences
Dikembangkan oleh Edward James dan Keith Davis. Apabila perilaku berhubungan dengan sikap atau karakteristik personal berarti dengan melihat perilakunya dapat diketahui dengan pasti sikap atau karakteristik orang tersebut. Hubungan yang demikian adalah hubungan yang dapat disimpulkan (correspondent inference). Ini berbeda dengan keadaan, dimana banyak orang melakukan hal yang sama. Misalnya, seorang yang menyampaikan rasa simpati terhadap suatu musibah belum bisa dikatakan sebagai orang yang simpatik, sebab sebagian orang memang melakukan hal yang serupa. Bagaimana mengetahui bahwa perilaku berhubungan dengan karakteristik atau sikap ? Ada beberapa cara untuk melihat ada atau tidak hubungan antara keduanya :
1. Dengan melihat kewajaran perbuatan atau perilaku. Orang yang bertindak wajar sesuai dengan keinginan masyarakat (social desirability), sulit untuk dikatakan bahwa tindakannya itu cerminan dari karakternya. Sebaliknya, akan lebih mudah untuk menebak bahwa perilakunya merupakan cerminan dari karakter dia bila dia melakukan sesuatu yang kurang wajar. Contohnya : orang yang berjalan sesuai dengan jalur sulit untuk ditebak bahwa perilaku itu mencerminkan karakternya. Namun bila dijumpai ada seseorang yang berjalan menerabas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan itu adalah cerminan dari karakternya, yaitu tidak patuh pada aturan.
2. Pengamatan terhadap perilaku yang terjadi pada situasi yang memunculkan beberapa pilihan. Pada situasi yang tidak memberikan alternatif lain, atau karena terpaksa, tidak mungkin bisa memprediksikan bahwa perilaku tersebut merupakan cerminan dari karakternya.
3. Memberikan peran yang berbeda dengan peran yang sudah biasa dilakukan. Misalnya : seorang juru tulis diminta untuk menjadi juru bayar. Dengan peran yang baru ini, akan tampak keasliannya, perilaku yang merupakan gambaran dari karakternya.
B. Model of Scientific Reasoner
Teori ini dikembangkan oleh Harold Kelly. Ia mengajukan konsep untuk memahami penyebab perilaku seseorang dengan memandang pengamat seperti ilmuwan, yang disebut sebagai ilmuwan naïf. Untuk sampai pada suatu kesimpulan atribusi seseorang, diperlukan tiga informasi penting :
§ Distinctiveness
Konsep ini merujuk pada bagaimana seseorang berperilaku dalam kondisi yang berbeda-beda. Distinctiveness yang tinggi terjadi apabila orang yang bersangkutan mereaksi secara khusus atau berbeda pada suatu peristiwa. Misalnya : ia hanya tertawa ketika nonton film komedi X, namun ketika nonton film komedi lainnya ia tidak pernah tertawa. Sedangkan distinctiveness yang rendah terjadi apabila orang yang bersangkutan merespon/mereaksi secara sama terhadap stimulus yang berbeda. Misalnya : seseorang yang selalu tertawa bila melihat film komedi.
§ Konsistensi
Konsep ini menunjuk pada pentingnya waktu sehubungan dengan suatu peristiwa. Konsistensinya dikatakan tinggi apabila orang yang bersangkutan mereaksi yang sama untuk stimulus yang sama, pada waktu yang berbeda. Misalnya : orang yang selalu tertawa bila melihat lelucon dari pelawak Tessy, baik dulu maupun sekarang, disebut memiliki konsistensi yang tinggi. Sedangkan bila orang tersebut hanya kadang-kadang saja tertawa terhadap lelucon Tessy, ia memiliki konsistensi yang rendah. Konsistensi dikatakan rendah jika orang yang bersangkutan merespon berbeda atau tidak sama terhadap stimulus yang sama pada waktu yang berbeda.
§ Konsensus
Konsep tentang konsensus selalu melibatkan orang lain, sehubungan dengan stimulus yang sama. Apabila orang lain tidak bereaksi sama dengan seseorang berarti konsensusnya rendah, dan sebaliknya jika orang lain juga melakukan hal sama dengan dirinya berarti konsensusnya tinggi.
Dari ketiga informasi tersebut, dapat ditentukan atribusi pada seseorang. Menurut Kelly ada tiga, yaitu :
1. Atribusi internal, yaitu perilaku seseorang merupakan gambaran dari karakternya apabila distinctiveness-nya rendah, konsensusnya rendah dan konsistensinya tinggi.
2. Atribusi eksternal, dikatakan demikian apabila ditandai oleh distinctiveness-nya tinggi, konsensusnya tinggi dan konsistensinya juga tinggi.
3. Atribusi internal-eksternal, hal ini ditandai oleh distinctiveness-nya tinggi, konsensusnya rendah dan konsistensinya juga tinggi.
C. Atribusi Keberhasilan dan Kegagalan
Dua teori atribusi di atas bisa diterapkan secara lebih umum daripada teori yang akan dibicarakan pada bagian ini. Weiner dan Weiner mengkhususkan diri berteori tentang atribusi dalam kaitannya dengan keberhasilan dan kegagalan.
Untuk menerangkan proses atribusi tentang keberhasilan atau kegagalan seseorang maka perlu memahami dimensinya. Terdapat dua dimensi pokok memberi atribusi. Pertama, keberhasilan dan kegagalan memiliki penyebab internal dan eksternal (mirip konsep dari Kelley atau locus of control). Dimensi kedua, memandang dari segi stabilitas penyebab, stabil atau tidak stabil. Dari kedua dimensi tersebut, dapat dilihat ada empat kemungkinan :
Kestabilan LOC | Tidak Stabil (Temporer) | Stabil (Permanen) |
Internal | - Usaha - Mood - Kelelahan | - Bakat - Kecerdasan - Karakteristik Fisik |
Eksternal | - Nasib - Ketidaksengajaan - Kesempatan | - Tingkat kesukaran tugas |
Berdasarkan pada tabel di atas, maka dapat dilakukan kategorisasi atau atribusi seseorang. Misalnya mahasiswa yang berhasil menempuh ujian akhir kemungkinan karena selama kuliah memang selalu mendapat nilai baik dan dia memiliki kesanggupan untuk berusaha, maka dia bisa disebut sebagai orang yang cerdas, berbakat atau berkemampuan tinggi. Orang yang demikian bisa diberi atribusi internal-stabil. Bisa juga bukan karena kemampuannya yang memadai, tetapi karena tugas yang dibebankan relatif mudah, berarti atribusinya eksternal-stabil. Contoh atribusi internal-tidak stabil adalah pada kasus orang yang memiliki bakat tetapi keberhasilannya tergantung pada besarnya usaha, sehingga kadang-kadang berhasil tetapi tidak jarang pula gagal. Atribusi eksternal-tidak stabil, contohnya adalah orang yang mendapat undian berhadaih.
Konsep atribusi ini tidak hanya terbatas untuk melihat keberhasilan, tetapi dengan analogi yang sama bisa juga untuk memberi atribusi kegagalan. Contohnya adalah orang pandai, yang biasanya sukses, suatu ketika mengalami kegagalan karena tugas yang dibebankan terlalu berat untuk ditanggung sendirian (eksternal-stabil).
Pada tahun 1982, Weiner memperluas model atribusinya dengan menambahkan satu dimensi lagi didalam dimensi penyebab internal-eksternal, yaitu dimensi dapat atau tidaknya penyebab itu terkontrol (controllable). Contohnya : untuk atribusi internal-stabil tak terkontrol adalah sukses karena bakat yang luar biasa sehingga jarang mengalami kegagalan.
BIAS dalam ATRIBUSI
Seringkali proses atribusi menjadi bias karena faktor pengamat sebagai ilmuwan naïf menggunakan konsep dirinya ke dalam proses tersebut dan juga karena faktor-faktor yang berhubungan dengan orientasi pengamatan. Beberapa bias yang dikenal dalam atribusi adalah :
1. Bias Fundamental Attribution
Dalam memberikan atribusi pada pelaku, pengamat sering terlalu banyak menekankan factor disposisi daripada factor situasi. Penekanan yang tidak seimbang dari dua sisi akan menyebabkan bias dalam kesimpulan. Di sisi lain focus pengamatan memang lebih banyak pada perilaku, tetapi bukan berarti factor situasional kurang berperan. Bias atribusi fundamental ini pertama kali dikemukakan oleh Lee Ross
2. Bias Self-Serving
Ada kecenderungan umum pada setiap orang untuk menghindari celaan karena kesalahannya. Sayangnya cara yang dipilih untuk menghindari keadaan itu sering tidak tepat, yaitu dengan menimpakan pada situasi di luar dirinya. Seorang yang gagal menjadi juara sering menimpakan kesalahan pada panitia atau arena. Sedangkan bila mendapat keberhasilan dia lebih menekankan bahwa hal itu adalah karena kemampuannya.
3. Efek Pelaku – Pengamat
Bias ini terutama muncul pada hubungan antara perilaku dan pengamat yang sudah terjalin baik. Pertama kali, teori ini dikemukakan oleh Jones dan Nisbet. Pelaku akan menekankan pada faktor situasional. Sedangkan menurut pengamat, perubahan perilaku lebih banyak dipengaruhi faktor disposisi. Contohnya adalah hubungan antara seorang guru dengan siswa. Ketika suatu saat guru memberi nilai jelek pada hasil karangan murid, kedua orang ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menilai kegagalan. Bagi murid kegagalan tersebut disebabkan oleh kesibukannya, gangguan dari teman, ruang yang panas, atau yang lain. Sedangkan guru cenderung menimpakan keadaan ini kepada kondisi murid itu sendiri, misalnya kurang membaca bahan, kurang teliti, kurang ada kemauan dan sebagainya.
4. Menyalahkan diri sendiri
Tidak jarang pula ditemui seorang yang terlalu menyalahkan diri sendiri, terutama bila mengalami kegagalan. Orang yang sering menyalahkan diri sendiri, akan sulit untuk secara objektif memberi penilaian, sehingga dalam proses atribusi juga sering menyebabkan kebiasaan.
5. Hedonic Relevance
Pengamat sering kurang objektif dalam memberikan penilaian terhadap peristiwa yang menyangkut dirinya. Apabila peristiwa itu menguntungkannya, maka akan menyebabkan penilaian lebih positif. Sebaliknya bila peristwa tersebut kurang menguntungkan dirinya, penilaian menjadi condong negatif.
6. Bias Egosentris
Sering dijumpai pula bahwa orang menilai dengan menggunakan dirinya sebagai referensi, atau beranggapan bahwa orang pada umumnya akan berbuat seperti dirinya. Apabila standar diri ini diterapkan dalam memberi atribusi, maka bias sulit untuk dihindarkan.
KONFORMITAS
Menurut Baron & Byrne, konformitas adalah :
“ Penyesuaian terhadap kelompok social, karena adanya tuntutan dari kelompok tersebut untuk menyesuaikan diri, meskipun tuntutan tersebut tidak secara terbuka”
Menurut Koesler & Kiesler, konformitas adalah :
“ Perubahan perilaku yang ada pada individu atau kelompok sebagai akibat dari tekanan kelompok, baik secara nyata maupun yang diimajinasikan ”
Contoh : kewajiban memiliki seragam, tingkah laku pemakai jalan raya.
Ada dua penelitian mengenai konformitas :
1. Penelitian Serif & Sherif
Penelitian ini dikenal dengan sebutan “ Autokinetic phenomenon “, yaitu orang akan berpendapat secara bebas, apabila sendirian. Namun ketika berada dalam kelompok ada kecenderungan untuk menselaraskan dirinya dengan pendapat kelompok.
2. Penelitian Solomon & Ash
Penelitian ini menggunakan rangsangan garis-garis yang sejajar dalam rangka mempelajari dinamika dari konformitas. Dalam penelitian ini, pada prinsipnya subjek diminta menebak panjang sebuah garis.
Konformitas sebagai suatu cara untuk menyesuaikan diri, dapat hanya terjadi di permukaannya saja, tetapi dapat juga diinternalisasikan orang yang bersangkutan.
TIPE KONFORMITAS
a. Tipe konformitas yang hanya ditampakkan, tetapi disaat dirinya tidak di dalam kelompok, ia lebih suka mengembangkan opininya. Disebut “Expendient Conformity” atau “Simple Acceptance”.
b. Tipe konformitas yang lainnya adalah “Private Acceptance”. Disini orang memang setuju sepenuhnya, baik ketika di dalam kelompok maupun di luar kelompok.
Pada umumnya expendient conformity terjadi dalam rangka untuk menghindari hukuman atau menginginkan hadiah. Sedangkan private acceptance dilakukan tidak hanya untuk menghindari hukuman dan menerima hadiah, tetapi juga adanya anggapan bahwa pendapat kelompok dan pendapat dirinya adalah benar. Selain kedua hal tersebut, yang menyebabkan seseorang menginternalisasi opini kelompok adalah karena ada identifikasi terhadap model yang ada di dalam kelompok tersebut.
FAKTOR-FAKTOR yang MEMPENGARUHI KONFORMITAS
q Menurut Latana (1981) ada kecenderungan semakin banyak anggota kelompok, semakin mendorong seseorang untuk melakukan konformitas.
q Pada kenyataannya hubungan antara jumlah orang dalam kelompok dengan tingkat konformitas tidak selamanya linier.
q Menurut penelitian Ash (1951), bahwa sampai dengan 4 orang di dalam kelompok, pendapat di atas memang benar. Tetapi bila lebih dari 4 orang tidak lagi menunjukkan pengaruh yang significant. Faktor mayoritas dalam kelompok, ternyata mempangaruhi konformitas (misal ; dalam etnis, agama, kebangsaan, geografis, dll) akan lebih besar pengaruhnya untuk terjadi konformitas.
q Demikian juga pada orang yang memiliki “self esteem” tinggi, biasanya tidak mudah konform.
DINAMIKA KONFORMITAS
§ Menurut Social Comparison Theory, seorang akan konform dengan kelompoknya jika ia menilai bahwa kelompok tersebut adalah benar dan dia merasa takut kalau ditolak.
§ Kemungkinan lain terjadinya konformitas adalah karena adanya konflik.
§ Menurut penelitian Ross, Bierbaner & Stoffman (1976) : apabila ada perbedaan pendapat antara seseorang dengan kelompoknya, akan timbul perasaan tidak enak dalam diri orang tersebut. Dalam kondisi yang demikian, jalan yang paling aman adalah konformi. Kecenderungan demikian ini dapat terjadi apabila individu tersebut tidak dapat memberikan jawaban yang rasional, mengapa ada perbedaan pendapat seperti itu.
§ Morris & Miller (1975) melakukan penelitian dengan membuat tiga kelompok, yaitu :
Kelompok I : terdiri dari orang-orang yang semuanya setuju terhadap pendapat yang
salah
Kelompok II : sebagian besar orang setuju dengan pendapat yang salah, kecuali
satu orang yang berpendapat lain, namun menyatakan pendapatnya
tersebut sesudah mayoritas berpendapat.
Kelompok III : mirip dengan kelompok II, tetapi satu orang yang berpendapat
berbeda menyampaikan pendapatnya sebelum mayoritas
berpendapat.
Hasil penelitian bahwa ternyata konformitas terjadi paling tinggi pada kelompok I (sekitar 1.9 point). Pada kelompok II, rata-rata skornya 1.1 point, dan pada kelompok III, sebesar 0.9 point.
PENGARUH UMUR & JENIS KELAMIN thdp KONFORMITAS
· Konformitas tidak berkorelasi dengan faktor umur
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan ternyata justru wanita lebih konformis daripada pria. Kenyataan ini banyak disebabkan oleh factor latar belakang budaya pada umumnya, yang menuntu wanita untuk menjadi lebih konformis.
· McDavid (1971), dalam penelitiannya melaporkan bahwa wanita lebih konform dengan persoalan pria, sedangkan pria lebih konform terhadap persoalan wanita. Sedangkan terhadap persoalan yang sifatnya netral, keduanya ternyata seimbang konformitasnya.
NON-KONFORMITAS
ü Tidak semua orang dapat menjadi konformis terhadap kelompok, mereka biasanya disebut sebagai non-konformis.
ü Ada dua tipe non-konformis, menurut Worchel & Cooper (1983), yaitu :
- Anti-konformitas
Yaitu terjadi apabila seseorang justru memiliki pendapat, sikap dan perilaku yang berlawanan dengan kelompok.
- Independen
Yaitu orang akan berbuat sesuatu dengan isi pikirannya, tanpa terpengaruh oleh kelompok. Kalaupun itu berlawanan dengan apa yang dituntut kelompok, bukan merupakan reaksi terhadap tuntutan kelompok.
ü Sikap non-konformis disebabkan oleh 4 hal, yaitu :
- Reactance
Yaitu penolakan yang terjadi karena individu merasa kebebasan dirinya dirampas baik melalui tekanan untuk konformis. Dan pengalaman yang terjadi pada umumnya tekanan akan menghilangkan kebebasan individu. Teori Reactance pertama kali dikemukakan oleh Brehm (1966).
- Mencari perhatian
Yaitu bahwa pada umumnya orang yang meminta perhatian terhadap lingkungan terlalu berlebihan dan apabila lingkungan tidak memberikan hal tersebut, akan berakibat orang tersebut menjadi non-konformis (patah semangat).
- Ingin menjadi unik
Maslach (1982) menemukan bahwa orang yang menilai tinggi keunikan cenderung menolak konformitas. Disamping itu ada sejumlah orang yang memang senang apabila dirinya dapat menjadi beda dengan orang kebanyakan (eksklusif). Korelasi antara keunikan dengan keinginan menarik perhatian pada umumnya tinggi.
- De-individuation
De-individuasi dapat mendorong orang untuk tidak konform dengan kelompok karena orang tidak dikenal identitasnya. Mereka akan merasa lebih bebas melakukan segala sesuatu menurut kehendaknya. Dengan tanpa identitas diri yang jelas, ia merasa lebih bebas, mudah untuk melepas tanggung jawab yang seharusnya ditanggung.
OBEDIENCE (KEPATUHAN)
Penelitian tentang kepatuhan dilakukan oleh “Stanley Milgram” sejak tahun 1963. Penelitian ini menggunakan alat yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh menimbulkan efek sebagaimana dikemukakan kepada subjek. Penelitian terdiri dari tiga orang yaitu subjek, eksperimenter dan seorang yang berpasangan dengan subjek (Learner). Prosesnya adalah eksperimenter meminta subjek untuk membacakan soal-soal yang akan dijawab oleh subjek dengan kejutan listrik. Setiap kali membuat kesalahan, hukuman dinaikkan 15 volt. Sebelum eksperimen berlangsung, alat ini dicobakan kepada subjek agar dapat merasakan sengatan listrik tersebut. Ketika sengatan mencapai voltage tinggi, biasanya subjek meminta pertimbangan eksperimenter untuk menghentikannya. Eksperimenter meminta kepada subjek untuk terus melakukan hingga penelitian berakhir pada saat hukuman mencapai 450 volt. Peristiwa memberikan hukuman tersebut sebenarnya tidak benar-benar terjadi. Ekspresi Learner ketika subjek menekan tombol hukuman disebut sedemikian rupa, padahal sesungguhnya dia tidak merasakan apapun. Semua peristiwa tersebut sudah diatur, yang ingin diteliti dalam eksperimen ini adalah “ seberapa jauh kepatuhan subjek terhadap perintah eksperimenter” ?
Hasil Penelitian :
· Ternyata hanya 12.5 % subjek yang berhenti sesudah memberi hukuman pada batas 300 volts. Lebih dari 60 % subjek mematuhi perintah hingga akhir eksperimen.
· Penelitian ini kemudian dimodifikasi dengan memperdengarkan jeritan Learner. Hasilnya 37.5 % subjek tidak lagi mematuhi perintah eksperimenter. Apabila subjek dengan Learner berada dalam satu ruangan, 60 % tidak mematuhi perintah; dan 70% subjek tidak mematuhi perintah apabila ia harus ikut memegangi alat eksperimennya.
· Dalam keadaan sendirian hanya 5 % subjek yang mau memberi hukuman hingga di atas 150 volts, sedangkan jika dalam kelompok 67.5 % mau meneruskan eksperimen.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OBEDIENCE
1. Jenis kelamin. Dalam hubungannya dengan perintah dan tingkat otoritas orang yang memerintah. Untuk hal-hal yang mengerikan, wanita lebih tidak patuh karena merasa ngeri melihat dan mendengarkan korban; maka dalam penelitian Milgram, wanita cenderung lebih menolak perintah.
2. Tingkat otoritas. Pengaruh terhadap kepatuhan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Orang diperintah atasan akan lebih patuh dibandingkan yang memerintah adalah teman yang setingkat. Perlu ditambahkan bahwa semakin tinggi status dari figure yang mempunyai otoritas serta adanya keyakinan bahwa yang bertanggung jawab terhadap perilaku kepatuhannya itu adalah sumber otoritas maka orang akan semakin patuh untuk bertingkah laku ( misal: dokter-pasien ).
3. Seseorang akan menjadi penurut apabila dirasakan meningkatnya situasi yang menuntut kepatuhan (contoh : dalam berlalu lintas )
4. Terbatasnya peluang untuk tidak patuh.
COMPLIANCE
Compliance adalah perilaku yang terjadi sebagai persetujuan atas permintaan orang lain. Disamping orang mengabulkan suatu permintaan karena adanya kekuatan social, adakalanya seseorang memberi/mengabulkan suatu permintaan tanpa ada alasan tertentu, hanya karena ingin memberi dan atau karena ada permintaan. Keadaan ini disebut sebagai “mindlessness”.
Di Indonesia hal seperti ini disebut sebagai kerelaan tanpa pamrih. Penelitian Regan (1974) menunjukkan apabila situasinya tidak menyenangkan (banyak masalah) orang cenderung menolak permintaan dan sebaliknya. Berikut adalah cara-cara agar suatu permintaan dapat dikabulkan :
1. Teknik Foot in The Door
Teknik ini dipakai apabila kita bermaksud mendapatkan sesuatu yang besar dengan terlebih dahulu meminta sesuatu yang kecil. Pada umumnya orang akan mengabulkan suatu permintaan apabila ia pernah memberikan sesuatu terhadap orang yang sama sebelumnya. Teknik ini pernah dibuktikan oleh Freedman dan Fraser (1966). Dari kelompok responden yang pernah ditanyai sebelumnya melalui telepon (dengan sedikit pertanyaan), ternyata 52.8 % mau menjawab pertanyaan yang banyak jumlahnya di rumah mereka beberapa hari sesudahnya. Sedangkan kelompok yang belum pernah ditanyai lewat telepon sebelumnya, hanya 22.5 % yang mau menjawab pertanyaan yang banyak.
2. Teknik The Door in The Face
Teknik ini dikenalkan oleh Robert Cialdini (1975). Kebalikan dari teknik foot in the door, permintaan yang diajukan adalah : yang besar terlebih dahulu, yang kemungkinan terkabulkannya yang lebih kecil. Teknik akan berhasil dengan syarat :
a. tenggang waktu antara permintaan pertama dan kedua tidak jauh
b. Permintaan pertama jauh lebih besar daripada permintaan kedua
c. Kedua permintaan dikabulkan oleh satu orang
3. Teknik Low Ball
Menurut teknik ini untuk mendapatkan sesuatu yang lebih tinggi orang akan mendapatkan setelah ada permintaan yang terkabul (seperti pada foot in the door). Dimana permintaan yang berikutnya adalah permintaan ralat. Teknik ini pernah diteliti dengan cara memberikan harga yang rendah untuk sebuah mobil. Setelah pembeli menyepakati harga yang ditawarkan, selesman beberapa saat kemudian menyatakan kembali kepada pembeli, bahwa harga yang disepakati harus diubah karena ada suatu hal (harga naik, dsb…). Ternyata, beberapa orang masih mau membeli dengan harga yang dinaikkan.
4. Teknik Even–a–Peny–will–help
Teknik ini sering dipakai oleh para pencari derma. Apabila calon penderma menanyakan kepadanya : “berapa saya mesti memberi ?” maka dijawabnya : “satu rupiah pun akan sangat membantu”. Pernyataan dengan cara seperti ini, sering justru menaikkan hasil pencarian derma. Teknik ini berhasil karena pemberi derma merasa bebas dari ketentuan dan terdorong untuk memberikan dalam jumlah yang yang lebih besar dengan harapan akan lebih membantu pihak yang perlu bantuan.
5. Teknik Menanamkan Rasa Bersalah
Dengan menanamkan rasa bersalah, dapat juga menyebabkan munculnya pemberian yang lebih tinggi dibandingkan orang yang merasa tidak bersalah. Dengan mengabulkan permintaan seseorang sering diasumsikan sebagai cara untuk menghilangkan dosa yang telah diperbuatnya, meskipun pemberian itu tidak selalu berhubungan dengan perbuatan salahnya.
6. Teknik Sentuhan
Teknik ini pernah dibuktikan oleh Smith, Gier dan Willis (1982), yaitu dengan cara menawarkan kepada calon pembeli satu produk makanan dengan jalan memberi kesempatan kepada calon pembeli untuk mencicipi makanan tersebut. Selama memberi sample makanan itu, sebagian orang disentuh lengannya sambil diminta untuk membelinya. Sebagian responden lain hanya diberi sample makanan dan diminta untuk membeli tanpa disentuh lengannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok yang disentuh lengannya lebih banyak membeli.
7. Teknik Pemberian Atribut
Dalam teknik persuasi dengan jalan memberi atribut positif kepada seseorang ternyata menunjukkan hasil yang lebih baik agar orang mau mengabulkan permintaan. Teknik ini akan efektif apabila orang tersebut, memang membutuhkan atribut yang positif. Namun bagi yang mempunyai self-esteem tinggi, teknik ini akan tidak efektif.