psikologi sains

wacana saling bertukar pikiran dan berbagi ilmu

Wednesday, January 19, 2011

Pendekatan Psikologi Humanistik dalam Bidang Pendidikan

Psikologi humanistik adalah pendekatan psikologi tentang bagaimana menghargai sisi kesejahteraan manusia, serta bagaimana memajukan budaya manusia. Para pendidik humanistik lebih tertarik dalam mengembangkan kemampuan kita sebagai manusia, baik itu bagi yang “sakit” ataupun normal.

Mereka berusaha, bukan hanya, memecahkan masalah, tapi juga melakukan hal-hal positif. Kemampuan untuk melakukan hal-hal yang positif ini disebut dengan potensi manusia (human potentials). Para pendidik humanistik berfokus pada hal ini, terutama dalam hal ketrampilan manusia dalam berelasi. Secara tipikal, para pendidik humanistik menunjukkan cara-cara bagaimana membangun relasi yang hangat satu sama lain, serta mengajar cara-cara untuk percaya, menerima, menyadari perasaan-perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan sosial yang lain.

Di samping menekankan pada hubungan manusia, pendidik juga mengajarkan ketrampilan kognitif dan hubungan sosial. Mereka merencanakan kelas yang membantu kita dalam meningkatkan persepsi, merasa (feel), bergerak, mengagumi, berintuisi, sensasi, menciptakan, berfantasi, membayangkan dan mengalami.

Psikologi pendidikan humanistik berorientasi pada pendidikan untuk manusia secara utuh. Pendidik mencoba untuk melihat dalam spektrum yang lebih luas tentang perilaku manusia dan mempertanyakan, ”Berapa banyak sesuatu yang dapat dilakukan manusia? Bagaimana saya dapat membantu mereka untuk melakukan dengan lebih baik?”

Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan humanistik menekankan pada mengenali pentingnya emosi dalam pendidikan. Pentingnya emosi atau wilayah afektif merupakan satu karakteristik yang terkuat pada pendidik humanistik.

Strzepek memetik sebuah ide tentang ”belajar untuk menikmati hidup” (learning to enjoy life) dari psikologi humanistik pula. Di dalam ”Fiksi dan Potensi Manusia” (Fiction and the Human Potentially), dia mencatat bahwa hampir literatur sekolah tinggi mengabaikan sisi positif dari menjadi manusia. Para ahli psikologi humanistik melihat perilaku manusia sebagai campuran dari motivasi yang lebih rendah dan lebih tinggi. Mereka menekankan pada manusia berdasarkan pada ”pengalaman yang nyata dari manusia itu sendiri, dimulai dari sana untuk menurunkan konsep-konsep, abstraksi yang perlu dan definisi dari pengalaman nyata manusia serta kebutuhan-kebutuhan, tujuan dan nilai-nilai...” (Maslow, 1967).

Mengacu pada teori hirarki kebutuhan Maslow yang mengarah pada pilihan bersama dengan orang lain, untuk kompetensi dan pengakuan, serta aktualisasi diri sebagai bagian dari motivasi manusia, maka sebagai pendidik kita juga sebaiknya mempertimbangkan kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan kursus-kursus individual juga kurikulum secara menyeluruh agar bisa mencapai kebutuhan yang lebih tinggi ini. Beberapa ahli psikologi humanistik melihat kita supaya menggunakan pilihan yang natural berkaitan dengan pertumbuhan, perbaikan dan pembelajaran. Jangan sampai terjadi memaksa anak-anak belajar suatu topik sebelum mereka siap. Tanda seorang anak siap belajar suatu topik tertentu adalah ketika dia ingin mempelajarinya. Salah satu peran guru humanistik adalah membantu anak-anak agar belajar dari apa yang mereka inginkan pada saat mereka menginginkannya. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator untuk membantu mereka menuju tahap yang lebih tinggi dari kebutuhan manusia. Betapa pentingnya untuk hidup secara penuh sebisa yang dilakukan. Ini diasumsikan sebagai tujuan dari pendidikan juga.

Ringkasnya, pendekatan humanistik untuk psikologi pendidikan menekankan pada kemungkinan-kemungkinan untuk pertumbuhan yang positif, dalam jelajah secara luas dan secara khusus peduli pada sosial, kemampuan interpersonal serta metode-metode untuk pengembangan diri. Hal yang digarisbawahi adalah pada pengayaan dan kebahagiaan diri, hidupnya dan sosialnya.

Pengajaran untuk Perkembangan Pribadi

Tujuan dari humanistik adalah pendidikan untuk pengayaan hidup. Pendidikan bukan sekedar untuk mempertahankan hidup atau untuk meningkatkan penghasilan, melainkan juga untuk pengayaan hidup. Tujuan hidup manusia adalah melebihi daripada ketiadaan akan rasa takut, sakit, cemas, atau perasaan-perasaan lain yang tidak diinginkan.

Timbulnya masalah mental pada masyarakat secara umum seperti tingkat kejahatan melonjak, maraknya perceraian, jurang generasi, meningkatnya penyakit mental membuat para pendidik dan ahli-ahli psikologi memberanikan diri untuk mengembangkan pendekatan-pendekatan baru terhadap masalah emosional dan kehidupan personal para siswa di sekolahnya. Para pendidik menyiapkan berbagai cara untuk mengenali, menganalisa, dan mengekspresikan perasaan yang selalu dihadirkan dalam kelas. Dalam beberapa bahan, mempunyai tujuan yang sederhana yaitu membuat perasaan-perasaan ini sah dan membantu siswa untuk memahaminya secara utuh. Program yang lain adalah memakai pemahaman ini untuk meningkatkan relevansi tugas sekolah reguler atau untuk menstimulasi kreativitas.

Beberapa pendekatan baru lainnya yang dilakukan pendidik antara lain :

1. Mereka membuat siswanya sendiri sebagai “bahan” atau ”content”. Maksudnya siswa ini belajar tentang perasaan-perasaan dirinya juga tindakan-tindakannya, bukan tentang psikologi pada umumnya.
2. Mereka mengenali bahwa imajinasi siswa, seperti refleksi dari hati, mimpi, cerita, dan fantasi sangatlah penting sebagai bagian dari hidup yang bisa di-sharing-kan dengan teman kelasnya dan dipakai untuk berpikir secara kreatif.
3. Mereka memberikan perhatian khusus terhadap ekspresi non verbal (seperti gerak tubuh dan nada suara), karena hal ini juga penting sebagai bagian dari komunikasi.
4. Mereka menggunakan permainan, improvisasi, dan bermain peran sebagai cara untuk menstimulasi perilaku sehingga dapat dipelajari dan diubah.
5. Mereka mengajar dengan cara yang eksplisit beberapa prinsip dasar dinamika kelompok sehingga siswa dapat memiliki tanggung jawab yang lebih untuk melaksanakan tanggung jawab mereka sendiri.

Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan sebagai rambu-rambu agar pendidik bisa memberi manfaat bagi siswa:

1. Pendidik sebaiknya tidak pernah membawa siswa pada area pengalaman dimana siswa tersebut merasa tidak nyaman.
2. Guru jangan pernah mendorong siswa untuk mengungkapkan sesuatu yang dia enggan untuk mengungkapkan, partisipasi dimana siswa enggan berpartisipasi, atau eksplorasi wilayahnya apabila dia tidak ingin melakukannya. Siswa merupakan penuntun terbaik bagi dirinya sendiri untuk melakukan apa yang dirasa nyaman untuk dirinya.

Konsep Baru tentang Potensi Manusia: Tantangan Baru bagi Guru

Cara bagaimana seseorang merasa tentang dirinya dan perkembangannya adalah penting. Kita hidup saat ini dengan ide-ide baru tentang sifat dari kapasitas manusia, tentang apa yang mungkin bagi manusia. Gagasan yang revolusioner itu membawa pada tantangan baru bagi orang yang menghadapi anak-anak. Ada pertentangan yang terjadi disini; di satu sisi ingin mengembangkan siswa secara utuh optimal, namun di sisi lain ditemukan adanya keterbatasan-keterbatasan kapasitas manusia yang terjadi, antara lain:

1. Keterbatasan secara fisik pada anak. Misalnya kesehatan fisik yang terganggu akibat kekurangan makan.
2. Hambatan kesempatan. Kita mengetahui bahwa kapasitas manusia dapat ditingkatkan dengan memakainya dan akan terhenti pertumbuhannya jika tidak dipakai. Jika kita tidak menyiapkan seseorang untuk menggunakan atau memberdayakan apa yang dia punyai, ini adalah hal yang fatal. Begitu banyak sekolah yang mengira sudah menyiapkan stimulasi untuk anak-anak namun ternyata apa yang disiapkan tidak menarik, monoton, sederhana, tidak bisa digunakan dengan baik.
3. Keterbatasan karena kebutuhan-kebutuhan manusia (human needs). Setiap dari kita secara terus-menerus mencari kenyamanan dari kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya hidup tenang, makan cukup, dicintai dan mencintai, pemenuhan diri. Apabila kegagalan terjadi, maka yang muncul adalah ketidakmampuan beradaptasi, kebodohan, kriminalitas, sakit secara psikologis dan sebagainya.
4. Keterbatasan konsep-diri (self-concept). Self-concept merupakan salah satu faktor yang menentukan bagaimana seseorang mampu beradaptasi di berbagai lingkungan yang berbeda. Apa yang diyakini seseorang tentang dirinya akan berpengaruh terhadap segala sesuatu yang dia lakukan, dia dengar, dia lihat dan sebagainya sehingga secara efektif dia mampu berhubungan dengan dunia dalam hidupnya.
5. Tantangan dan ancaman. Ini menyangkut hal bagaimana seseorang dalam mempersepsi suatu objek. Apakah dipandang sebagai ancaman atau tantangan. Apabila ia memandangnya sebagai ancaman, maka dia juga akan melawan dan mempertahankan diri. Sebaliknya, bila suatu objek dipersepsi sebagai tantangan maka suatu masalah akan dipandang sebagai sesuatu yang menarik karena ia mempunyai keyakinan untuk mengubah tantangan tersebut menjadi kesuksesan.

Kurikulum Humanistik

Secara teoritis dapat diartikan sebagai eksplorasi area untuk membantu siswa secara lebih efektif mampu menghadapi masalah-masalah khusus dalam hidupnya.

Pendekatan kurikulum ini untuk struktur lingkungan belajar yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswa mencapai wilayah konten humanistik dan pilihan mereka sendiri yang lain serta mendorong mereka untuk belajar dan berlatih proses humanistik sebagai bagian dari pendidikan mereka.

Beberapa hal yang dilakukan dalam pendekatan ini adalah:

1. Pilihan atau kontrol. Siswa yang menentukan tujuan dan membuat keputusan.
2. Hal penting yang dirasakan (felt concerns). Kurikulum cenderung lebih fokus pada minat dan yang menjadi perhatian (concern) atau penting bagi siswa.
3. Kecakapan Hidup (manusia seutuhnya). Pendidikan humanistik cenderung melibatkan orang secara keseluruhan, tidak hanya pikirannya saja. Ada gerakan menuju ketrampilan cara berpikir yang terintegrasi dengan ketrampilan hidup lain yang diperlukan, agar menjadi pribadi yang efektif dalam merasa, memilih, mengkomunikasikan sesuatu dan melakukan sesuatu.
4. Self-evaluation. Pendidikan humanistik menjauhkan kontrol guru dan menggantikannya dengan evaluasi balik pada siswa, seperti pada dirinya sendiri yang mengevaluasi kemajuannya dalam mencapai tujuan.
5. Guru sebagai fasilitator. Guru bergerak dari posisi mengatur menjadi fasilitator. Ia lebih mendukung daripada memberi kritikan, lebih memahami daripada menghakimi. Ada suasana saling belajar satu sama lain.

Tujuh kriteria pembelajaran yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan:

1. Pengembangan pribadi. Sasaran dari tipe ini adalah pada pribadi, pertumbuhan pribadi siswa, termasuk di dalamnya self-awareness dan self-insight. Siswa semakin lebih dekat dengan dirinya dan lebih mengenal diri. Contoh: manusia itu unik berbeda satu sama lain. Sebagai pribadi, ia memiliki sejarah, pilihan, kapasitas dan potensi.
2. Perilaku kreatif. Tujuan ini untuk memuat nilai orisinalitas, kreatifitas, imajinasi, interpretasi yang baru, makna kebaruan, dan sebagainya. Banyak orang dalam belajar mengabaikan kapasitas afektif. Misalnya mengatakan, “ah, itu hanya imajinasi!” Padahal hal ini penting. Mereka tidak menemukan bahwa imajinasi juga gudang dari ide-ide yang gemilang.
3. Kesadaran interpersonal. Penekanannya pada bagaimana orang saling mempengaruhi satu dengan yang lain (individu-kelompok, kelompok-kelompok). Interaksi sosial, proses kelompok, kepemimpinan, dan komunikasi merupakan topik dari bidang ini.
4. Orientasi subyek atau disiplin ilmu. Ini berfokus pada bagaimana siswa merasakan tentang subyek yang menyeluruh atau bidang studi secara luas. Contoh: mereka membenci matematika, tapi menyukai bahasa Inggris. Ia benci matematika karena sesungguhnya merasa bodoh pada bidang ini. Kebodohan adalah hal yang dibencinya, bukan pelajarannya. Maka peran guru adalah mengubah keyakinan tersebut.
5. Isi yang spesifik. Ini berkaitan dengan pembelajaran humanistik (human teaching for human learning), baik menyangkut afektif maupun cognitif. Misalnya siswa merasakan dan mendiskusikan keberanian dan ketakutan mereka sendiri. Kesadaran ini membuat The Red Badge of Courage yang menjadikan perasaannya jelas lebih dapat dipahami. The Red Badge of Courage adalah salah satu contoh bagaimana seseorang dalam menghadapi ketakutannya.
6. Metode pembelajaran. Berhubungan dengan kemungkinan-kemungkinan afektif untuk mengatur kelas dalam cara yang berbeda baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
7. Guru dan administrator. Di sini berfokus pada pendidik sebagai orang yang menumbuhkan pribadi siswa dan menjadi model bagi siswanya.

No comments: