Motivasi adalah segala sesuatu yang menggerakkan organisme baik itu sumbernya dari faktor internal ataupun dari faktor eksternal sesuai dengan pendapat beberapa ahli yang akan dikemukakan dalam uraian lebih lanjut. Dalam hal ini Mc Mahon dan Mc Mahon (1986) menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu proses yang mengarah pada pencapaian suatu tujuan. Menurut Teevan dan Smith (1967) motivasi adalah suatu konstruksi yang mengaktifkan dan mengarahkan perilaku dengan cara memberi dorongan atau daya pada organisme untuk melakukan suatu aktivitas. Menurut Chauhan (1978) motivasi adalah suatu proses yang menyebabkan timbulnya aktivitas pada organisme sehingga terjadi suatu perilaku.
Woodword (Petri, 1981; Franken, 1982) berkeyakinan bahwa perilaku selain reflek-reflek tidak bakal terjadi tanpa motivasi, yang juga disebutnya dengan istilah drive. Motivasi merupakan suatu konstruksi dengan tiga karakteristik yaitu intensitas, arah dan persisten. Maksudnya motivasi dengan intensitas yang cukup akan memberikan arah pada individu untuk melakukan sesuatu secara tekun dan secara kontinyu. Petri (1981) menyatakan tentang intensitas suatu perilaku, artinya intensitas suatu pengertian bahwa motivasi merupakan suatu kondisi yang menimbulkan dan mengaktifkan perilaku. Proses motivasi dalam menimbulkan dan mengaktifkan perilaku tadi yaitu dengan cara meningkatkan intensitas dan terjadi secara persisten dan mengarah pada tujuan tertentu. Jadi adanya motivasi merupakan indikator kesungguhan dan kontinuitas perilaku yang mengarah pada objek tertentu. Konsep Hunt tentang motivasi (Petri, 1981) adalah segala sesuatu yang mendorong atau menyebabkan timbulnya aktivitas pada organisme baik itu faktor internal atau faktor eksternal adalah motivasi.
Motivasi yang muncul dari dalam diri individu tidak terlepas dari adanya kebutuhan. Faktor utama yang menyebabkan timbulnya suatu kebutuhan dalam kehidupan individu adalah untuk mempertahankan hidup dan memelihara keseimbangan psikis (homeostatis). Adanya kebutuhan tersebut yang akan menimbulkan dorongan atau motif dalam diri individu untuk melakukan tindakan. Sedangkan pandangan Hull (Petri, 1981) tentang teori motivasi didasarkan pada suatu asumsi bahwa perilaku bahwa perilaku timbul karena didorong oleh kepentingan untuk mengadakan pemenuhan atau pemuasan terhadap kebutuhan (need) yang ada pada organisme. Selain itu, Hull berpandangan bahwa timbulnya perilaku tidak hanya semata-mata karena dorongan yang bermula dari kebutuhan organisme saja. Dorongan oleh Hull dikonsepsikan sebagai kumpulan dari energi yang dapat mengaktifkan tingkah laku atau sebagai motivasional factor sedangkan kebiasaan dipandangnya sebagai nonmotivasional factor.
Berdasarkan pendekatan kognitif diyakini bahwa orang termotivasi atau tidak untuk melakukan sesuatu, banyak tergantung pada pikiran mereka (Petri, 1981). Proses kognisi ini dianggap sebagai proses sebagai proses pengolahan informasi. Informasi dimaksud adalah stimulus yang ditangkap oleh indera kemudian diproses dalam arti ditransformasi, direduksi, dan direkonstruksi untuk dapat dimanfaatkan. Proses tadi bukanlah merupakan suatu mata rantai antara stimulus dengan pikiran yang secara mekanistik dapat menimbulkan dan mengontrol perilaku. Stimulus sebagai sumber informasi dapat mempengaruhi atau mengontrol perilaku tergantung hal tersebut mempunyai arti atau tidak menurut keyakinan dan perasaan individu setelah berlangsungnya proses kognisi (Weiner, 1972).
McClelland (dalam Jaya, 2008) merupakan salah seorang ahli yang mengemukakan teori motivasi yang dikenal dengan social motives theory. Ia mengelompokkan motivasi dalam 3 kategori yakni motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi, dan motivasi berkuasa. Dalam hal ini, Motivasi berprestasi merupakan dorongan untuk mencapai sukses, yang diukur berdasarkan standar kesempurnaan dalam diri seseorang. Dorongan ini berhubungan erat dengan pekerjaan yang mengarahkan seseorang untuk mencapai prestasi sebagai suatu usaha untuk mencapai sukses, yang berhasil dalam berkompetisi dengan suatu ukuran keunggulan, ini dapat mengacu pada prestasi orang lain atau prestasinya sendiri yang diraih sebelumnya. Atkinson (dalam Beck, 1990) beranggapan motivasi berprestasi sebagai suatu disposisi usaha untuk sukses. Tendensi kesuksesan ini dapat dirumuskan, berikut:
Ts = Ms X Ps X Is
Keterangan:
Ts = Tendensi untuk Sukses
Ms = Motif untuk Sukses (n.Ach)
Ps = Kemungkinan untuk sukses
Is = Insentif dari nilai kesuksesan atau Is - p
Kekuatan tendensi untuk sukses ini tergantung dari beberapa besar nilai atau bobot dari ketiga variabel lainnya, dengan catatan nilai atau bobot tersebut tidak sama dengan nol atau negatif, jika salah satu nilai variabel tersebut nol atau negatif maka tendensi untuk sukses akan bernilai nol atau negatif. Derajat motivasi berprestasi ini berbeda untuk setiap orang, hal ini tergantung pada motif dan sikap positifnya terhadap situasi berprestasi.
Schultz (1982) mendefinisikan kebutuhan berprestasi sebagai suatu kebutuhan seseorang untuk melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya dan memperoleh hasil yang terbaik. Sedang Edwards (dalam putu, 2008) mengartikan sebagai suatu kebutuhan untuk berbuat lebih baik dari orang lain, yang mendorong individu untuk menyelesaikan tugas lebih sukses untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
Heckhausen (dalam Martaniah, 1987) menyatakan bahwa seseorang yang motivasi berprestasinya tinggi mempunyai disposisi penilaian antara lain:
a. Jika motivasi berprestasi lebih kuat, perbedaan antara bayangan diri yang nyata dan yang ideal akan lebih besar.
b. Orang yang berorientasi sukses akan lebih mengharapkan kemungkinan sukses, dan yang berorientasi gagal akan lebih mengharapkan kemungkinan kegagalan dalam mencapai kegagalan.
c. Tingkat aspirasi yang berorientasi sukses biasanya hanya sedang, dan yang berorientasi gagal biasanya terlalu tinggi atau terlalu rendah.
d. Subjek yang dimotivasi sukses menganggap sukses sebagai akibat faktor yang mantap seperti kemampuan dan menganggap kegagalan bukan karena faktor tersebut, tetapi sebagai akibat kurangnya usaha yang momental.
Kesuksesan dan kegagalan usaha seseorang tergantung pada derajat motivasi berprestasi yang bersangkutan dan hal ini lebih mengacu pada faktor-faktor internal dan eksternal maupun situasional seperti pengertian motivasi itu sendiri yang merupakan inner drive.
Agak berbeda, pendekatan atas dasar teori instingtif yang menurut Petri (1981) disebut juga pendekatan biologis. Oleh Buck (1988) disebut dengan pendekatan fisiologis. James mengemukakan pendapat bahwa insting adalah suatu impuls yang berada pada daerah motivasi dengan pengertian bahwa insting tadi merupakan suatu kekuatan yang mendorong organisme untuk melakukan suatu aktivitas. James cenderung menganggap insting sinonim dari motivasi James juga menyatakan bahwa timbulnya perilaku tidak hanya semata-mata karena insting saja, tetapi juga didorong oleh suatu tujuan atau suatu pikiran tertentu yang disebut Ideo Motor Insting.
Mc Dougall (Petri, 1981; Buck, 1988) berkeyakinan bahwa semua perilaku disebabkan karena dorongan insting. Timbulnya perilaku tidak semata-mata didasarkan pada teori insting yang cenderung lebih dekat dengan aspek fisiologis dalam struktur kepribadian. Karena ia berpendapat bahwa insting tadi terdiri dari komponen kognitif adalah komponen dari insting yang memungkinkan organisme mengetahui adanya suatu objek yang dapat dijadikan sebagai alat pemuas insting.
Freud (Weiner, 1972; 1981; Buck, 1988), dalam teorinya tentang motivasi menggunakan istilah energy psikis. Proses timbulnya psikis bermula dari adanya kebutuhan-kebutuhan fisiologis yang menyebabkan timbulnya ketegangan pada organisme. Ketegangan inilah yang menimbulkan insting-insting dan berfungsi menggerakkan atau mengaktifkan dalam rangka meredakan atau mereduksi ketegangan tadi.
Berbicara tentang insting dalam teori freud, tidak terlepas dari konsep tentang struktur kepribadian manusia yaitu: Id, Ego, dan Super Ego. Id adalah aspek fisiologis, Ego adalah aspek psikologis, dan Super Ego adalah aspek moral dan sosial dari kepribadian. Id adalah gudang raksasa (great reservoir) tempat berkumpulnya insting-insting. Insting oleh Freud dimaksudkan sebagai suatu keadaan yang menentukan proses psikologis untuk mengamati, mengingat, dan membayangkan tentang suatu objek yang berhubungan dengan alat pemuasan kebutuhan dari organisme.
Pengertian kebutuhan untuk berprestasi menurut McClelland (dalam Sobur, 2003) adalah suatu daya dalam mental manusia untuk melakukan suatu kegiatan yang lebih baik, lebih cepat, lebih efektif, dan lebih efisien daripada kegiatan yang dilaksanakan sebelumnya. Ini disebabkan oleh virus mental. Dari pendapat tersebut Alex Sobur mengartikan bahwa dalam psikis manusia, ada daya yang mampu mendorongnya ke arah suatu kegiatan yang hebat sehingga dengan daya tersebut, ia dapat mencapai kemajuan yang teramat cepat.
Gellermen (1963) menyatakan bahwa orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan sangat senang ia berhasil memenangkan suatu persaingan. Ia berani menanggung segala risiko sebagai konsekuensi dari usahanya untuk mencapai tujuan. Sedangkan motivasi berprestasi menurut Tapiardi (1996) adalah sebagai suatu cara berpikir tertentu apabila terjadi pada diri seseorang cenderung membuat orang itu bertingkah laku secara giat untuk meraih suatu hasil atau prestasi.
Komarudin (1994) menyebutkan bahwa motivasi berprestasi meliputi: 1) kecenderungan atau upaya untuk berhasil atau mencapai tujuan yang dikehendaki, 2) keterlibatan ego individu dalam suatu tugas, 3) harapan suatu tugas yang terlihat oleh tanggapnya subjek, 4) motif untuk mengatasi rintangan atau berupaya berbuat sesuatu dengan cepat dan baik. McClelland dan Atkinson (1953) menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai tiga motif yakni motivasi berprestasi (achievement motivation), motif bersahabat (affiliation motivation) dan motif berkuasa (power motivation). Sehingga, menurut McClelland dan Atkinson (1953) achievement motivation should be characterized by high hopes of success rather than by fear of failure yang artinya motivasi berprestasi merupakan ciri seorang yang mempunyai harapan tinggi untuk mencapai keberhasilan daripada ketakutan akan kegagalan.
Menurut perspektif humanistik mengenai motivasi (dalam Santrock, 2009) yang menekankan kapasitas siswa untuk pertumbuhan pribadi, kebebasan untuk memilih nasib mereka sendiri, dan kualitas-kualitas positif (seperti bersikap sensitif kepada orang lain). Perspektif ini diasosiasikan secara dekat dengan keyakinan Maslow bahwa kebutuhan dasar tertentu harus dipenuhi sebelum kebutuhan yang lebih tinggi dapat dipuaskan.
Menurut perspektif kognitif mengenai motivasi, pemikiran siswa mengarahkan motivasi mereka. Perspektif kognitif juga menekankan pentingnya penetapan tujuan, perencanaan, dan pemantauan menuju suatu sasaran. Perspektif kognitif berargumen bahwa tekanan eksternal seharusnya kurang ditekankan. Perspektif kognitif merekomendasikan bahwa siswa harus diberi lebih banyak kesempatan dan tanggung jawab untuk mengendalikan hasil prestasi mereka sendiri.
No comments:
Post a Comment