Latar Belakang
Disangkal atau-pun tidak, prostitusi adalah hal jamak di dunia ini. Prof. Koentjoro dalam bukunya yang berjudul Tutur dari Sarang Pelacur (Vano2000, 2008) mengatakan bahwa pelacuran sudah ada sejak lama, serupa dengan yang diungkapkan Hull (dalam Wakhudin, 2006) bahwa pelacuran di Indonesia sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan jawa. Memang penelitian dari profesor yang berasal dari Universitas Gajah Mada itu berada pada konteks Indonesia, akan tetapi hal yang sama dengan yang disampaikan oleh Andaya (1998) bahwa prostitusi sudah ada sejak abad 16 di Asia Tenggara. Penelitian lainnya mencatat prostitusi ada di India di tahun 1864-1883 (Chatterjee, 1992) dan juga Korea di abad 20-an (Lie, 1995).
Koran kuning yang ada di Indonesia, tak luput pula memuat berita tentang prostitusi. Iklan-iklan yang menawarkan bisnis seks, baik yang terselubung atau tidak, juga selalu bisa ditemukan di surat kabar itu. Di forum-forum internet pun banyak yang menawarkan bisyar (akronim yang merujuk pada perempuan yang bisa dibayar alias pekerja seks komersial) plus field report (ulasan) untuk tiap skill seksualnya mulai dari handjob, blowjob, dan lain-lainnya, juga tempat-tempat yang menyediakannya, mulai dari wisma, salon, panti pijat, hingga club. Begitu pula di chatroom dan jejaring sosial banyak yang terang-terangan menjajakan dirinya. Jawa Pos pada 18 dan 19 Mei 2008 memberikan ulasan tentang kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh remaja atau ayam abu-abu. Azalleaislin (2010) menuturkan bahwa minimal di satu sekolah ada satu prostitute berseragam.
Fenomena pelacuran ini terjadi di berbagai daerah. Sedikit diantaranya adalah di Kediri (Rsd, 2007), Bandung (Hoofdredacteur, 2007), Pasuruan (Arifin, 2010). Bukan berarti di kota lain tidak ada, tentu saja ada. Kegiatan ini ibarat gunung es, yang tampak di permukaan hanya sebagian kecil dari keberadaan sesungguhnya.
Prostitusi atau bagi beberapa orang disebut bisnis lendir ini juga terjadi di Pati, bahkan di daerah yang cukup jauh dari pusat kota Pati, sekitar 36 km. Daerah di sebelah utara Pati yang bernama Dukuhseti itu telah lama dikenal sebagai daerah penghasil pelacur. Prof. Koentjoro (dalam Soeriwidjaja dan Margono, 1989) menguraikan bahwa prostitusi disana justru terjadi dari satu rumah ke rumah lainnya. Lalu mengapa di desa yang ada di pinggir pulau Jawa terjadi bisnis seperti itu? Mengapa banyak perempuan, tidak hanya di Dukuhseti saja, yang masuk ke dunia prostitusi?
Apakah yang terjadi di Dukuhseti, dan juga daerah lainnya, karena adanya permintaan, seperti halnya hukum supply and demand sesuai dengan yang diyatakan oleh Brewer, Muth, dan Potterat, (2008)? Ataukah mereka melacur karena tekanan ekonomi?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan dijawab pada penelitian ini.